FR. Fitra Riau mengundang para expert perguruan tinggi pada,hari senin (20/03/2023) bertempat di Hotel Batiqa Pekanbaru. Pertemuan ini sengaja di rancang untuk mendiskusikan dan menggali berbagai perspektif dari berbagai pihak dalam hal berbagi pengalaman serta berbagi keilmuan terkait dengan konsep pemanfaatan Dana Bagi Hasil Minyak Gas ‘’DBH-MIGAS’’.
Kata Moderator, Sartika Dewi. Diskusi ini nantiknya akan menghasilkan berbagai poin jawaban bagaimana seharusnya rekomendasi yang di gali berkenaan dengan konsep ideal pemanfataan DBH-Migas untuk pengetasan kemisikinan di daerah penghasil minyak yang tentunya akan di ilustrasikan dalam bentuk kajian ilimah sebagai bahan untuk melakukan advokasi kebijakan public di tiga daerah penghasil yaitu kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Pelalawan.
Pertemuan ini selain di hadirin oleh Team Fitra, tampak hadir, A.Z Fachry Yasin merupakan Akademisi Universitas Islam Riau dan juga Tokoh Masyarakat Riau. Dr. Sri Endang Kornita S.E., M.Si dan Dr. Dahlan Tampubolon, S.E.,M.Si dari Universitas Riau. Alexander Yandra, S.Ip.,M.Si yang mana saat ini merupakan Dekan Fakultas Adminitrasi Negara. Sedangkan dari Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim yang hadir Dr.Mustiqowati Ummul Fithriyyah, M.Si sebagai ketua PSGA LP2M. Ungkap Sartika.
Triono Hadi dalam sambutannya mengatakan, Kegiatan diskusi Ini adalah sifatnya capture secara umum bagaimana kondisi daerah dan situasi kebijakan di daerah. Apakah daerah penghasil minyak yang memiliki jumlah sumur yang banyak sudah memberikan kontribusi yang baik dalam hal isu pengetasan kemiskinan, pemberian akses yang layak terhadap layanan pendidikan,kesehatan dan infrastruktur pembangunan yang baik dan apakah perusahaan di sekitaran desa penghasil sudah menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat local ? ini yang harus di tinjau kembali.
“Dari baground 8 daerah penghasil migas di riau yang di kelola saat ini ada 10 blok yang dioperasikan dan 2 masih tahap eksplorasi, Data produksinya sampai 205.376 bod atau setara 27,8 persen produksi nasional 2019” Cakap Triono.
Padahal kata Triono lagi, sesuai dengan pasal 33 ayat 3 UU 1945, sudah di jelaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam konteks Dana Bagi Hasil Migas yang di berikan oleh pemerintah pusat ke daerah tidak memberikan efek nyata bagi daerah yang mana daerah itu merupakan pengahsil sumber dari sumber daya alam tersebut.
Lanjutnya, justru Daerah penghasil yang seharusnya tidak ada ketimpangan yang kita temui tapi fakta berbalik ada ketimpangan di sector layanan dasar seperti angka kemiskinan yang tinggi, infrastruktur layanan pendidikan dan kesehatan yang dalam kondisi tidak begitu baik dan dirasakan fasilitasnya belum terakomodir sesuai denegan harapan dan ini bisa dikatakan sebagai hasil dari natural riset ”Kutukan Sumber Daya Alam”. Kata koordinator Fitra itu.
Tarmidzi menambahkan pula, berdasarkan data tahun 2019-2021 rata-rata 1,64% daerah penghasil migas menujukan kondisi perkembangan ekonomi yang mengembirakan. Angka tersebut jika di hitung jauh di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi di Riau yaitu 1,78 persen. Katanya lagi, Jika di lihat dari aspek pendapatan DBH-MIgasnya, Data empat tahun terakhir menunjukan daerah penghasil migas di Riau dalam kondisi yang masih relative rendah.
Dari data kabupaten Rokan Hulu, Rokan Hilir, Kepulauan Meranti dan Kampar justru di bawah rata-rata Provinsi dengan angka Bengkalis, DBH-Migas mencapai Rp 2,7 triliun berkonstribusi rata-rata 27,3 persen, Rohil realisasi DBH-Migas mencapai Rp1,6 triliun berkonstribusi 27,1 persen, Kampar Rp 1,2 triliun berkonstribusi 18,5 persen, Kabupaten Rohul DBH-Migas tahun 2018-2020 sebesar Rp 454,1 miliar hanya berkonsribusi 9,4% terhadap pendapatan daerahnya. Ungkap Deputi Fitra itu.
Sehingga pada pertemuan ini, kata tarmidzi. Dari data yang terpaparkan sangat penting kiranya kita membahas ini dengan 5 pertanyaan kunci yaitu Pertama perkembangan kebijakan dari DBH migas, Kedua,sejauh ini apakah pemanfaatan DBH migas sudah optimal, Ketiga terkait dengan tingkat kesejahteraan masyarakat daerah penghasil seperti apa, Keempat, bagiamana gagasan terkait dengan konsep ideal untuk penanggulangan kemiskinan melalui pemanfaatan DBH Migas ini. Serta ke Lima, tentunya Rekomendasi apa kira-kira yang bisa kita catat untuk penyempurnaan kajian ini kedepan.
Sementara para akadmisi yang hadir tampak memberikan gagasan dan masukan. Salah satunya Dr Dahlan, Fazhri yasin dan Alexander yandra yang mana mengatakan hal yang sama bahwa,kebijakan pengetasan kemiskinan harus fokus pada pengatasan di pendesaan karena kata mereka, kemiskinan di wilayah pedesaan sangat tinggi dan turunnya sangat cepat contoh pada saat covid. Jika covid lebih cepat turun maka lebih cepat turun juga angka kemiskinan kalau covid belum turun maka kemiskinan juga semakin cepat naik.
Ini adalah sebagai ilustrasi bahwa angka kemiskinan bisa sebenarnya di desain dari pertumbuhan ekonomi pendapatan dan jual beli masyarakat desa jika kita ingin jujur melihat dan melakukan penyelesaiannya. Selain itu, Katanya lagi jika ingin Mengukur kemiskinan harus melihat kondisi geografis suatu wilayahnya tidak semua harus mengedepankan prinsip ekonomi tapi harus mengukur keretasan kemiskinan dengan pendekatan sosiologi dan antropologi.
Yang mana di jelaskannya, tidak semua daerah kita bisa samakan untuk pendekatan basisnya ekonomi kita harus melihat bagaimana kondisi keadaan rumahnya, ketersediaan dan kepemilikan lahan di desa, ada pengalaman penelitian bahwa kondisi rumahnya jelek tapi lahannya berhektar dan dia tidak mau dikatakan orang kaya dan sebaliknya kondisi rumah bagus,tidak mempunyai lahan perkebunan hidupnya penuh tunggakan bank,tidak punya pekerjaan tapi dia tidak mau dikatakan miskin. Ini adalah problemnya sehingga kita tidak bisa mengukur kemiskinan dengan menyampingkan fakta geografis sebenarnya. Ungkap Dr dahlan Tampubolon.
Selain itu,diakui Dr. Mustiqowai Ummul Fithriyya, mengakui Pengelolaan DBH-Migas tidak adanya bentuk transparansi dan kita tidak tahu apakah pemanfaatan DBH-Migas ini sudah mengakomodir persoalan perempuan atau belum. Yang saya tau sejauh ini belum ada sehingga dorongan yang saya tawarkan adalah bagaimana DBH MIgas ini ada kuota 30 persen untuk program yang mengarahkan untuk pengarusutamaan gender terutama bagi daerah yang sudah berkonstribusi bagi pendapatan di sector migas ini.
Hal sama juga disampaikan Dr.Sri Endang Kornita, bahwasannya selain fokus mengarahkan kepada program yang berpihak kepada perempuan sebaiknya hal yang tak di lupakan adalah bagaimana pengawasan pengelolaan DBH-Migas ini. Sehingga jika pengelolaan DBH Migas ini terkelola dengan baik dan juga dicontrol dengan baik tentunya pula akan menumbuhkan tingkat transparansi dan akuntabilitas yang positif bagi pemaafataan DBH ini.
triono menyimpulkan kaitannya apa yang disampaikan oleh para akademisi benar adanya sehingga persoalan kemiskinan tidak akan pernah tuntas dalam penyelesainnya. Apa yang Fitra Harapkan dari optimalisasi pemanfaatan DBH MIgas ini adalah perubahan skema tata kelolanya dalam mekanisme distribusinya ke daerah, sebagai contoh yang pernah kita terapkan di kabupaten pelalawan yang mana distribusi DBH Migas Kita formulasikan dalam pemberian Alokasi Dana Desa ‘’ADD’’
Dijelaskan Triono, ADD ini berbasis migas, yang mana desa penghasil migas yang kita kenal dengan sebutan ring 1 yaitu desa–desa yang sebagian atau seluruh wilayah menjadi lokasi pengeboran, pengumpulan sementara produksi Migas, Ring 2 yaitu Desa yang tidak menjadi wilayah operasi utama pengeboran minyak bumi dengan radius 600 meter dan hanya memilki sarana penunjang aliran pipa dan Ring 3 secara geografis berbatasan dengan desa penghasil dan sarana utama pengeboran. Kita dorong pemda pelalawan untuk berikan stimulus penambahan alokasi dana desa yang kita ambil dari 10 persen DBH + DAU.
Sehingga katanya ini menjadi perubahan dampak yang baik bagi layanan di sekitaran desa penghasil. Lanjutnya, dan pemanfataan DBH untuk diarahkan ke desa mungkin ini adalah salah satu alternative kebijakan yang bisa kita ilustrasikan dalam advokasi ini khususnya untuk di kabupaten bengkalis dan kabupaten Rokan hulu, sedangkan untuk Kabupaten pelalawan yang jauh sudah menerapkan skema ini tentunya akan kita perkuat lagi. Tutup Triono Hadi ** Tf
Penulis Reportase Taufik