Diskusi antara organisasi masyarakat sipil (CSO) dan Pemerintah Provinsi Riau pada tanggal 21 April 2025 bertempat di rumah dinas Gubernur Riau membahas berbagai persoalan krusial terkait pengelolaan lingkungan hidup dan keberlanjutan kebijakan perhutanan sosial di Riau. Dalam forum tersebut, sejumlah tokoh menyampaikan kritik, masukan, dan rekomendasi yang ditanggapi langsung oleh Gubernur Riau.
Isu Iklim Ancam Kehidupan Petani, Perhutanan Sosial Belum Optimal
Susanto Kurniawan, perwakilan dari kalangan CSO, menyampaikan bahwa perubahan iklim berdampak langsung terhadap hasil pertanian dan perkebunan rakyat. Ia menyoroti perhutanan sosial sebagai skema strategis yang idealnya meningkatkan taraf hidup masyarakat. Namun, di lapangan, implementasi perizinan justru berbanding terbalik dengan semangat pemberdayaan.
“Harusnya perhutanan sosial meningkatkan kesejahteraan. Tapi kenyataannya, masyarakat tidak mendapat manfaat maksimal. Ini jadi PR kita bersama,” ujar Susanto Kurniawan.
Krisis Lingkungan Riau: Karhutla, Deforestasi, dan Banjir Mengancam
Dalam paparannya, Bang Santo menyoroti situasi krisis lingkungan yang semakin mengkhawatirkan di Riau. Ia mencatat bahwa dalam lima tahun terakhir, terdapat 5.597 titik api, dengan 32 persen di antaranya berada di kawasan konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan sawit. Selain itu, deforestasi terus terjadi dengan luas kehilangan hutan mencapai 64.785 hektare hingga tahun 2023. Kini, hutan alam yang tersisa di Riau hanya sekitar 1,37 juta hektare. Akibat rusaknya kawasan serapan air, banjir pun menjadi bencana rutin yang menimpa masyarakat, dengan lebih dari 233.000 jiwa terdampak sejak awal 2024.
Kondisi ini diperparah oleh konflik antara manusia dan satwa liar serta ketegangan sosial terkait pengelolaan lahan. Sepanjang tahun 2024, tercatat 14 kejadian serangan harimau yang menewaskan 14 orang. Perubahan habitat menjadi area akasia dan sawit menjadi penyebab utama meningkatnya konflik satwa. Di sisi lain, konflik antara masyarakat adat dan perusahaan terus berlanjut akibat perampasan lahan yang belum terselesaikan, sementara implementasi Perda No. 14 Tahun 2018 tentang Pengakuan Masyarakat Hukum Adat masih mandek.
Anggaran Perhutanan Sosial Minim, Banyak Terserap Perjalanan Dinas
Masalah lainnya adalah anggaran. Pengelolaan perhutanan sosial hanya mendapat alokasi kurang dari 1% (Rp728 juta), dan 80% di antaranya digunakan untuk perjalanan dinas. Sementara itu, alokasi darurat banjir dan karhutla untuk 2024–2025 mencapai Rp95 miliar.
Sebagai langkah strategis menghadapi krisis lingkungan di Riau, organisasi masyarakat sipil (CSO) mengusulkan rekomendasi. Pentingnya sinkronisasi dan integrasi kebijakan perlindungan lingkungan hidup ke dalam RPJMD 2025–2029 agar memiliki arah pembangunan yang berkelanjutan. CSO juga mendorong pembentukan kelembagaan iklim yang kuat serta pengembangan skema pendanaan hijau, termasuk menjajaki peluang dukungan dari lembaga internasional seperti World Bank dan Green Climate Fund (GCF).
Selain itu, rekomendasi lainnya mencakup penguatan kolaborasi antara pemerintah daerah dan CSO dalam perumusan serta pengawasan kebijakan lingkungan. Untuk memastikan kesinambungan perhatian terhadap isu ekologi, mereka juga mengusulkan adanya diskusi rutin antara CSO dan Gubernur. Perlindungan terhadap ekosistem gambut, kawasan pesisir, dan hutan mangrove perlu ditingkatkan, sekaligus membuka ruang kelola sumber daya alam secara adil untuk masyarakat adat dan lokal. Terakhir, mereka menekankan pentingnya memperkuat Perda No. 3 terkait Pengarusutamaan Gender dalam pembangunan, termasuk dalam alokasi anggaran yang lebih responsif gender.
Gubernur: Rekomendasi Akan Di-breakdown, Tapi Butuh Dukungan Sistem
Gubernur Riau menyambut baik rekomendasi yang disampaikan. Ia menyebutkan bahwa pihaknya akan menyelaraskan masukan tersebut dengan visi & misi Namun, ia mengakui bahwa lemahnya struktur dan dukungan menjadi penghambat pelaksanaan kebijakan.
“Perda dan regulasi sudah ada, tapi pelaksanaan sulit karena kapasitas pemerintah daerah belum kuat. Penertiban kawasan hutan butuh keberanian kebijakan dan kekuatan negara,” tegasnya.
Gubernur juga mengapresiasi semangat perubahan yang dibawa oleh forum tersebut, sambil menggarisbawahi pentingnya kebangkitan budaya lokal.
“Saya berterima kasih. Rekomendasi ini penting, karena saya ingin ada kebangkitan Melayu di tengah isu global seperti lingkungan hidup.”
Dengan berbagai tantangan lingkungan yang dihadapi Riau saat ini, masukan dan rekomendasi dari masyarakat sipil menjadi langkah penting untuk memperkuat arah kebijakan pembangunan yang berkelanjutan, inklusif, dan berpihak pada masyarakat. Diharapkan, sinergi antara pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan dapat mewujudkan visi Riau yang hijau, adil, dan tangguh menghadapi krisis iklim.
Sumber: Fitra Riau