Sesi 2
FR– Salah satu persoalan tata kelola sumberdaya alam di Riau, adalah ketidakadilan dalam pengusaan lahan. Sebagian besar lahan di Riau diperuntukkan untuk korporasi seiring dengan semakin sempitnya ruang kelola rakyat terhadap lahan itu. Baik disektor perkebunan, kehutanan maupun bentuk peluang pengelolaan sumberdaya alam lainnya. Untuk itu perbaikan tata kelola perkebunan kelapa sawit ini harus ikuti dengan pembenahan akses lahan terhadap masyarakat.
Topik ini, menjadi salah satu topik penting yang dibahas dalam “Forum Dialog Menyusun Peta Jalan Perbaikan Tata Kelola Perkebunan Sawit di Riau” yang diselenggarakan oleh Fitra Riau dan Yayasan Mitra Insani, 17-18 Desember 2019 di Pekanbaru. Pengelolaan sumberdaya alam harus memperhatikan masyarakat sebagai upaya untuk mensejahterakan masyarakat.
Anggapan bahwa perkebunan kelapa sawit menjadi penopang dalam meningkatkan ekonomi tentu tidak serta merta keliru. Data menyebutkan angka bahwa produk domistik regional bruto (PDRB) tanpa migas Provinsi Riau 30% (persen) ditopang setor pertanian, kehutanan dan perikanan. Namun demikian, data dan fakta lainnya juga harus dilihat tentang siapa penikmat dari perkebunan kelapa sawit di Riau. Kebijakan pengelolaan SDA yang tidak mengedepankan kepentingan masyarakat konflik dan kehilangan akses masyarakat tidak terhindarkan.
Dari perspektif masyarakat adat, Datuk Alazhar menjelaskan, dari total penduduk miskin Riau yang mencapai 500an ribu jiwa atau 7,34% dari total penduduk Riau, sebanyak 83%nya merupakan masyarakat adat melayu di Riau, masyarakat-masyarakat tersebut merupakan korban dari kutukan sumber daya alam yang di Riau yang salah dalam mengelola.
“Kemiskinan terjadi dikarenakan ruang mereka menyempit akibat derasnya pembiaran oleh korporasi baik yang berizinan atau yang illegal. Bagi masyarakat Adat itu betapa mewahnya keadilan itu, keadilan itu seperti sebuah utopia atau bersifat ilusi belaka. Untuk itu momentum memberikan hak-hak masyarakat dalam perbaikan tata kelola perkebunan sawit ini menjadi keharusan”, Tegas Al Azhar.
Berbagai konflik berbasis perebutan ruang hidup, ladang makan muncul di Riau. Riau adalah daerah dengan tingkat konflik berbasis SDA yang tinggi. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, namun ruang lahan semakin sempit, sebagian besar dikelola untuk kepentingan korporasi. Begitu juga dengan masyarakat adat, meskipun masyarakat adat berabad di negri ini tapi dianggap tidak ada sampai hari ini.
Berdasarkan catatan WALHI Riau diketahui dari 8,9 juta hektar daratan Riau, lebih dari 63,56% atau 5,6 juta hektar dikuasai oleh investasi perkebunan kelapa sawit, kehutanan dan pertambangan skala besar. Dominasi ini tentu akan semakin besar apabila dihitung dari 1,4 juta hektar pelepasan kawasan hutan secara parsial dan mekanisme tata ruang pada tahun 2014.
“Kita harus menampilkan caral baru terkait untuk membenahi konflik atau masalah yang ada. Kebijakan yang berpihak pada rakyat tidak banyak di sentuh atau di perhatikan. Padahal ini merupakan program prioritas” Jelas Riko Kurniawan
Kebijakan tanah objek reforma agraria (TORA), Perhutanan Sosial (PS) menjadi peluang penyelesaian dan perbaikan tata kelola sawit di Riau. Jutaan hektar perkebunan sawit korporasi yang dilakukan secara ilegal baik dikawasan hutan maupun dikawasan lainnya harus diarahkan untuk mengakselerasi kebijakan TORA dan PS di Riau.
Berdasarkan data temuan Pansus DPRD Riau, terhadap implementasi perkebunan di Riau menunjukkan bahwa dari 510 perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi di Riau sebanyak 378 perusahaan (71,2%) dinyatakan bermasalah dengan perizinan. Secara lebih rinci ada perusahaan yang memiliki PKS jumlah 103 perusahaan, 81 perusahaan berizi, 22 perusahaan tidak berizin. Perkebunan khusus budidaya (non PKS) dari 288 perusahaan terdapat 51 (17,7%) perusahaan yang berizin, sementara 237 (82,2%) perusahaan tidak berizinan.
Berkaitan dengan itu, maka tim penertiban perkebunan kelapa sawit ini juga harus memiliki strategi yang tepat dan memberikan dampak terhadap masyarakat. Beberapa simulasi yang ditawarkan kepada pemerintah daerah dalam penyelesaian perkebunan ini yaitu dengan memasukkan skema TORA dan PS sebagai solusinya.
Lahan-lahan yang dikuasi secara ilegal ditertibkan dan diberikan kepada masyarakat baik dalam bentuk TORA maupun PS. Karena ini menjadi sangat penting untuk dilakukan sebagai bentuk mendorong keadilan distribusi pengusahaan lahan. agar kedepan di Riau tidak lagi terjadi ketimpangan pengusahaan lahan antara korporasi dan masyarakat.
Nantikan lanjutannya (Sesi 3)
judul: “Langkah Perbaikan Tata Kelola Perkebunan Sawit Rekomendasi Forum Dialog”