Partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa bukan sekadar formalitas, tetapi merupakan suatu kebutuhan untuk menciptakan tata kelola yang baik dan berkelanjutan. Sayangnya, di banyak desa, peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan komunitas perempuan masih belum sepenuhnya dioptimalkan. Padahal, dengan kapasitas yang memadai dapat berkontribusi dalam mewujudkan kebijakan desa yang lebih transparan dan inklusif.
Pelatihan yang diselenggarakan pada 6–7 Februari 2025 di Hotel City Dumai menjadi langkah memperkuat kapasitas BPD dan Komunitas perempuan desa, khususnya dalam proses legislasi desa. Pelatihan ini diikuti oleh 15 peserta, dengan masing-masing desa mengirimkan lima perwakilan. Desa yang terlibat meliputi Desa Sebangar dan Desa Bumbung di Kecamatan Bathin Solapan, serta Desa Tengganau di Kecamatan Pinggir. Setiap desa diwakili oleh komunitas perempuan dan anggota BPD, sehingga diharapkan mampu mendorong partisipasi yang lebih aktif dalam penyusunan kebijakan desa.
Di era otonomi desa, Undang-Undang Desa No 6 tahun 2014 memberikan kewenangan yang luas bagi desa untuk mengelola sumber daya dan menentukan arah pembangunan sesuai dengan potensi lokal. Namun, agar kebijakan ini berjalan efektif, diperlukan tata kelola yang kuat. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas BPD dan komunitas perempuan desa menjadi langkah strategis yang tidak dapat diabaikan.
Memperkuat Peran Strategis BPD dalam Legislasi Desa
Sebagai mitra strategis dalam pemerintahan desa, BPD memegang peran penting dalam legislasi, penganggaran, dan pengawasan kebijakan desa. Namun, masih banyak anggota BPD yang belum sepenuhnya memahami dan mengoptimalkan perannya, sehingga regulasi desa sering kali kurang akuntabel dan tidak sepenuhnya mencerminkan aspirasi masyarakat.
Di Kabupaten Bengkalis, Alokasi Dana Desa (ADD) telah diterapkan untuk mendorong pemerataan pembangunan, khususnya bagi desa-desa penghasil sumber daya alam. Dengan adanya dukungan finansial ini, BPD memiliki tanggung jawab besar dalam mengawasi implementasi kebijakan desa, memastikan dana digunakan secara tepat sasaran, serta mencegah potensi penyalahgunaan.
Namun, tantangan utama yang dihadapi BPD adalah rendahnya pemahaman terhadap mekanisme legislasi desa. Anggota BPD yang mengikuti pelatihan mengaku belum sepenuhnya memahami tahapan penyusunan Peraturan Desa (Perdes). Misalnya, penyusunan Perdes melalui beberapa tahapan utama, dimulai dari perencanaan yang melibatkan identifikasi kebutuhan regulasi berdasarkan aspirasi masyarakat dan kebijakan desa.
Selanjutnya, penyusunan rancangan peraturan desa dilakukan oleh kepala desa bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dengan mempertimbangkan aspek hukum dan teknis. Setelah rancangan selesai, dilakukan pembahasan dan musyawarah desa untuk mendapatkan masukan serta persetujuan dari masyarakat dan pemangku kepentingan. Tahap berikutnya adalah pengesahan oleh kepala desa setelah mendapat persetujuan BPD, kemudian diundangkan dengan mencatat dalam lembaran desa atau dokumen resmi lainnya. Terakhir, dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar peraturan dapat dipahami dan diterapkan secara efektif.
Oleh karena itu, pelatihan ini mencakup sesi tentang teknik penyusunan Peraturan Desa (Perdes), strategi advokasi kebijakan desa, serta mekanisme pengawasan yang efektif.
“BPD harus lebih aktif dalam menyusun Perdes dan mengawasi kebijakan desa. Pelatihan ini menjadi langkah awal dalam memperkuat kapasitas agar dapat menjalankan fungsi dengan optimal,” ujar salah satu narasumber, Tarmizi, dalam sesi pelatihan.
Beberapa anggota BPD yang mengikuti pelatihan juga mengungkapkan manfaat yang mereka peroleh. “Sebelumnya, saya merasa bingung dengan peran BPD dalam proses legislasi desa. Pelatihan ini memberi saya pemahaman yang lebih jelas tentang tahapan penyusunan Perdes dan bagaimana kami bisa berkontribusi secara lebih efektif,” ujar salah satu peserta, mustafa, anggota BPD dari Desa Sebangar.
Sementara itu, peserta lainnya dari desa Bumbung, Zulkifli, menambahkan bahwa sesi pelatihan mengenai advokasi kebijakan desa sangat bermanfaat baginya. “Kami sering merasa kurang dilibatkan dalam pembahasan kebijakan. Dengan pengetahuan baru ini, saya lebih percaya diri untuk menyampaikan aspirasi masyarakat dan memastikan Perdes yang disusun benar-benar berpihak pada kepentingan warga,” tuturnya.
Diharapkan, dengan meningkatnya kapasitas anggota BPD, peraturan desa yang dihasilkan menjadi lebih transparan, akuntabel, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sehingga mampu membawa perubahan positif bagi pembangunan desa.
Perempuan Desa Menjadi Pilar Penting dalam Legislasi yang Inklusif
Tak hanya BPD, komunitas perempuan desa juga memiliki peran vital dalam memastikan kebijakan desa lebih inklusif. Sayangnya, keterlibatan perempuan dalam legislasi desa masih minim, padahal memiliki bebarbagai macam perspektif yang bisa memperkaya proses penyusunan kebijakan.
Melalui pelatihan ini, komunitas perempuan diberikan pemahaman dan keterampilan dalam legislasi desa. Harapannya, semakin banyak perempuan yang terlibat dalam perencanaan, penyusunan, serta evaluasi Perdes, sehingga kebijakan yang dihasilkan lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat, terutama terkait kesejahteraan keluarga, pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi.
Namun, masih terdapat hambatan sosial dan budaya yang membatasi partisipasi perempuan dalam kebijakan desa. Misalnya, di beberapa desa di Bengkalis, masih ada anggapan bahwa pengambilan keputusan merupakan domain laki-laki, sehingga perempuan sering kali tidak diundang dalam musyawarah desa. Selain itu, beban domestik yang tinggi dan keterbatasan akses terhadap informasi juga menjadi kendala utama. Informasi dari beberapa peserta menunjukkan bahwa perempuan kurang aktif terlibat dalam proses legislasi desa, meskipun mereka memiliki kepentingan langsung terhadap kebijakan yang menyangkut kesejahteraan keluarga dan ekonomi rumah tangga. Untuk mengatasi hal ini, pelatihan juga membahas strategi penguatan kapasitas perempuan, teknik advokasi kebijakan, serta membangun jejaring dengan pemangku kepentingan desa.
“Kami berharap semakin banyak perempuan desa yang terlibat dalam pembuatan kebijakan. Dengan begitu, desa dapat berkembang lebih adil dan sejahtera,”ujar Buk Siti Masliha, salah satu peserta dari Kelompok Perempuan Peduli dan Berdaya. Ia juga menambahkan bahwa pelatihan ini membuka wawasannya tentang hak-hak perempuan dalam pembangunan desa serta memberinya kepercayaan diri untuk turut serta dalam musyawarah desa.
“Sekarang kami tahu bagaimana menyuarakan aspirasi kami dengan lebih baik dan memahami proses legislasi yang ada, sehingga kami bisa lebih aktif dalam menentukan kebijakan yang berdampak bagi keluarga dan komunitas” tuturnya.
Membangun Transparansi, Partisipasi, dan Kemandirian
Pelatihan juga diharapkan dapat memperkuat pemerintahan desa di Bengkalis dalam membangun sistem tata kelola yang transparan, partisipatif, dan inklusif. Dengan peningkatan kapasitas yang berkelanjutan, desa dapat lebih mandiri dalam merumuskan kebijakan serta mengelola sumber daya secara efektif. Hal ini menjadi langkah strategis dalam memastikan pembangunan desa berjalan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Lebih dari sekadar pelatihan teknis, program ini juga menegaskan pentingnya penguatan kapasitas kelembagaan desa secara berkelanjutan. BPD dan komunitas perempuan desa memiliki peran sentral dalam mengawal kebijakan serta memastikan anggaran desa digunakan secara tepat sasaran. Dengan memperkuat kedua kelompok ini, diharapkan tata kelola desa dapat semakin profesional dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
Pelatihan ini bukan sekadar agenda sekali jalan, tetapi menjadi momentum penting bagi desa-desa di Bengkalis untuk membangun sistem pemerintahan yang lebih kuat dan akuntabel. Desa yang memiliki kelembagaan yang solid akan lebih mampu menghadapi berbagai tantangan, baik dalam hal pembangunan infrastruktur, pelayanan publik, maupun pemberdayaan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, kesinambungan peran serta perempuan desa dan BPD dalam legislasi desa perlu untuk selalu di tingkatkan.
Selain itu, tindak lanjut dari pelatihan ini sangat penting. Evaluasi dan monitoring pasca-pelatihan perlu dilakukan untuk memastikan bahwa peserta benar-benar menerapkan ilmu yang diperoleh.
Dengan partisipasi aktif BPD dan komunitas perempuan desa, harapan untuk mewujudkan desa yang lebih maju, adil, dan sejahtera bukan lagi sekadar impian. Dukungan dari berbagai pihak, semakin mempercepat transformasi desa menuju masa depan yang lebih baik. Kini saatnya bagi desa-desa di Bengkalis untuk mengambil peran lebih besar dalam menentukan arah pembangunan desa itu sendiri.