Pekanbaru, 13 Juni 2025 — Yayasan Mitra Insani (YMI) bekerja sama dengan FITRA Riau menyelenggarakan Pelatihan Penguatan Peran Kepemimpinan Perempuan dalam Pengelolaan Perhutanan Sosial (PS) di Provinsi Riau. Kegiatan yang berlangsung selama dua hari, pada 12–13 Juni 2025, ini bertempat di Hotel The Zuri, Pekanbaru.
Pelatihan diikuti oleh 25 peserta dari enam kabupaten: Siak, Pelalawan, Kampar, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, dan Bengkalis. Peserta terdiri atas 20 perempuan dari kelompok dampingan YMI yang berlatar belakang Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) dan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS), serta 5 orang women champion dari kelompok perempuan dampingan FITRA Riau yang tergabung dalam komunitas “Perempuan Peduli dan Berdaya.”
Kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat kapasitas kepemimpinan perempuan dalam pengelolaan Perhutanan Sosial yang aktif, partisipatif, inklusif, dan berkelanjutan. Di samping itu, pelatihan ini mendorong pengarusutamaan prinsip GEDSI (Gender Equality, Disability, and Social Inclusion) dalam tata kelola lingkungan hidup di tingkat desa.
Perempuan, Kelompok Rentan, dan Keadilan Ekologis
Pada hari pertama pelatihan, kegiatan dibuka secara resmi oleh Direktur YMI, didahului dengan sambutan dari Direktur FITRA Riau. Dalam sambutannya, Direktur FITRA Riau menegaskan pentingnya keterlibatan perempuan dan kelompok rentan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
“Perempuan dan kelompok rentan harus terlibat aktif dalam pengelolaan lingkungan hidup, karena merekalah yang paling terdampak langsung dari kerusakan lingkungan atau bencana ekologis,” tegasnya.
Perempuan di desa memainkan peran penting dalam pelestarian lingkungan, terutama karena keterlibatan mereka dalam kegiatan sehari-hari seperti pertanian, pengelolaan air, dan sampah rumah tangga. Oleh sebab itu, keterlibatan mereka dalam perencanaan dan pengambilan keputusan—termasuk dalam penggunaan Dana Desa—sangat krusial.
“Melalui musyawarah desa yang inklusif dan anggaran yang responsif gender, perempuan dapat mendorong program-program seperti ketahanan pangan, pengelolaan sampah terpadu, pertanian organik, atau pelatihan adaptasi perubahan iklim,” tambahnya. Dengan demikian, Dana Desa tidak hanya menjadi instrumen pembangunan fisik, melainkan juga sarana pemberdayaan perempuan dan pelestarian lingkungan yang berkelanjutan.
Membangun Kepemimpinan Inklusif dan Kelembagaan Responsif Gender
Memasuki hari kedua, pelatihan dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh Cik Tika, Manajer Advokasi FITRA Riau. Dalam sesi ini, peserta mendapatkan penguatan dalam membangun kelembagaan kelompok yang adil, partisipatif, dan responsif gender.
Cik Tika menekankan bahwa kelompok perempuan di tingkat tapak yang telah memiliki struktur organisasi, kegiatan, dan unit usaha perlu memperluas kemitraan dan jejaring dengan pemerintah desa dan pihak lain agar lebih mandiri dan berdaya.
Namun demikian, ia juga mengakui bahwa keterlibatan perempuan dalam proses pembangunan desa dan pengelolaan perhutanan sosial masih menghadapi tantangan struktural dan kultural. Hambatan struktural seperti minimnya akses terhadap informasi dan ruang pengambilan keputusan serta dominasi kerja domestik, turut membatasi partisipasi aktif perempuan. Sedangkan secara kultural, norma patriarki masih kuat, menjadikan suara perempuan kerap terabaikan.
Pendekatan APKM untuk Keadilan Gender dalam Perhutanan Sosial
Pelatihan ini juga memperkenalkan pendekatan APKM (Akses, Partisipasi, Kontrol, dan Manfaat) sebagai kerangka analisis gender. Pendekatan ini bertujuan memastikan keterlibatan perempuan secara setara dalam pembangunan desa dan pengelolaan sumber daya alam.
- Akses: Perempuan harus memiliki kesempatan memperoleh informasi, pelatihan, dan sumber daya.
- Partisipasi: Perempuan berperan aktif dalam pengambilan keputusan, bukan hanya menjadi peserta simbolik.
- Kontrol: Perempuan mampu memengaruhi kebijakan dan arah program melalui posisi kepemimpinan.
- Manfaat: Perempuan harus turut merasakan manfaat dari pembangunan, baik secara ekonomi maupun sosial.
Dengan menerapkan APKM, kelompok perempuan dapat memperkuat posisi tawarnya dan mendorong tata kelola pembangunan desa yang lebih adil dan partisipatif.
Menjadi Subjek Pembangunan, Bukan Sekadar Pelengkap
Kelembagaan yang inklusif adalah kunci menuju pembangunan berkelanjutan. Perempuan dan kelompok rentan tidak boleh hanya menjadi pelengkap administratif dalam kelembagaan desa, tetapi harus diberi ruang untuk berkontribusi dalam perencanaan program, pengambilan keputusan, hingga evaluasi kebijakan.
“Kepemimpinan perempuan terbukti mampu menghadirkan pendekatan yang lebih partisipatif, sensitif terhadap kebutuhan komunitas, serta peduli pada isu-isu kesejahteraan dan lingkungan hidup,” pungkas Cik Tika.
Mendorong percepatan Pengarusutamaan Gender (PUG) berarti tidak hanya menambahkan peran perempuan dalam pembangunan, tetapi juga mengubah cara pandang dan pendekatan pembangunan agar mempertimbangkan kebutuhan, pengalaman, dan potensi dari semua kelompok secara setara. Dengan keterlibatan yang lebih luas, perempuan akan menjadi subjek pembangunan yang aktif, bukan sekadar penerima manfaat pasif—menuju desa yang adil, inklusif, dan berkelanjutan.
Cik Tika
Manager Advokasi FITRA Riau