Rencana pemerintah pusat memangkas Transfer ke Daerah (TKD) pada tahun 2026 menimbulkan kekhawatiran besar, terutama bagi daerah yang sangat bergantung pada dana perimbangan dari pusat. Untuk Provinsi Riau dan 12 Kabupaten/kota, pemangkasan TKD diperkirakan mencapai Rp 6,39 triliun. Pemangkasan ini bukan sekadar soal angka dalam neraca keuangan, tetapi menyangkut keberlanjutan pembangunan desa dan kesejahteraan jutaan warga di akar rumput.
Selama satu dekade terakhir, pembangunan desa menjadi salah satu kebijakan paling progresif yang dijalankan pemerintah. Melalui Dana Desa dan berbagai transfer fiskal lainnya, desa-desa di seluruh Indonesia telah mengalami transformasi nyata — baik dari sisi infrastruktur, pelayanan publik, maupun peningkatan pendapatan masyarakat.
Pembangunan Desa sebagai Fondasi Kesejahteraan
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kebijakan fiskal berbasis desa memberikan dampak nyata pada penurunan kemiskinan. Pada Maret 2025, angka kemiskinan nasional turun menjadi 8,47 persen atau 23,85 juta orang, lebih rendah dibanding September 2024 (8,57 persen) dan Maret 2024 (9,03 persen). Dalam satu tahun terakhir, 1,37 juta penduduk berhasil keluar dari garis kemiskinan.
Namun, jika ditelusuri lebih dalam, perbaikan terbesar justru terjadi di perdesaan. Angka kemiskinan di desa turun dari 11,34 persen menjadi 11,03 persen, sementara di perkotaan justru sedikit meningkat. Ini membuktikan bahwa penguatan ekonomi desa menjadi faktor penentu dalam menekan kemiskinan nasional.
FITRA Riau menilai, kemajuan di tingkat desa sangat dipengaruhi oleh keberadaan Dana Desa yang dialokasikan secara konsisten selama beberapa tahun terakhir. Dana ini terbukti mendorong pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, dan irigasi, memperkuat layanan publik, serta menciptakan lapangan kerja baru melalui program padat karya. “Dana Desa bukan hanya soal pembangunan fisik, tetapi juga pemberdayaan masyarakat,” tegas FITRA Riau.
Capaian Nyata di Riau
Konteks pembangunan desa di Provinsi Riau menunjukkan hasil yang sangat menggembirakan. Berdasarkan Indeks Desa Membangun (IDM) tahun 2023, Riau berhasil menuntaskan seluruh desa tertinggal dan sangat tertinggal. Kini, dari total sekitar 1.591 desa, sebanyak 600 desa (37,71%) berstatus mandiri, 585 desa (36,77%) maju, dan 406 desa (25,52%) berkembang. Capaian ini menempatkan Riau di peringkat ke-7 nasional dalam indeks kemajuan desa.
Keberhasilan ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Selain dukungan Dana Desa dari pusat, Pemerintah Provinsi Riau juga menyalurkan Bantuan Keuangan Khusus (BKK Desa) senilai lebih dari Rp 1,4 triliun sejak 2019. Dana tersebut mempercepat peningkatan kapasitas kelembagaan desa, memperkuat ekonomi lokal, serta memperluas akses masyarakat terhadap pelayanan publik.
Capaian positif juga terlihat pada aspek kesejahteraan. Berdasarkan data BPS, tingkat kemiskinan di Riau pada Maret 2025 turun menjadi 6,16 persen atau sekitar 460,9 ribu jiwa, dengan penurunan lebih tajam terjadi di wilayah perdesaan (dari 6,52 persen menjadi 6,43 persen). Artinya, perbaikan ekonomi di Riau sangat dipengaruhi oleh peningkatan produktivitas dan lapangan kerja di desa.
Namun demikian, masih terdapat tantangan serius. Akses terhadap infrastruktur dasar belum merata sepenuhnya, terutama di daerah pesisir dan pedalaman. Di Kabupaten Bengkalis misalnya, masih ada sekitar 2.610 kepala keluarga yang belum menikmati listrik. Sejumlah desa di wilayah 3T seperti Buluh Apo, Air Kulim, dan Lubuk Gaung juga masih menghadapi keterbatasan layanan dasar. Dalam situasi seperti ini, pemangkasan TKD justru akan memperburuk kesenjangan dan memperlambat upaya pemerataan pembangunan.
Ancaman Pemangkasan TKD
Rencana pemangkasan TKD sebesar 25 persen bukan hanya akan mengurangi kapasitas fiskal pemerintah daerah, tetapi juga akan langsung memengaruhi kemampuan desa untuk membiayai pembangunan dan program pemberdayaan masyarakat. Ketika Dana Desa menurun, pembangunan infrastruktur melambat, kegiatan padat karya berkurang, dan daya beli masyarakat bisa menurun kembali.
Bagi daerah seperti Riau, yang baru saja keluar dari status desa tertinggal, pemangkasan ini berisiko menghambat kemajuan yang telah susah payah dicapai. Keberhasilan menurunkan kemiskinan dan memperluas akses layanan dasar dapat terhenti, bahkan berpotensi berbalik arah.
FITRA Riau menegaskan bahwa keberlanjutan Dana Desa dan TKD bukan beban anggaran, melainkan investasi sosial jangka panjang bagi pembangunan perdesaan. Negara harus melihat desa sebagai pusat pertumbuhan baru, bukan sebagai penerima bantuan pasif. “Mengurangi Dana Desa sama saja melemahkan instrumen utama negara dalam menekan kemiskinan di akar rumput. Konsistensi kebijakan menjadi kunci agar desa terus berdaya dan mampu mengangkat kesejahteraan warganya,” tegas FITRA Riau.
Rekomendasi FITRA Riau;
- Pemerintah pusat harus meninjau ulang rencana pemangkasan TKD tahun 2026. Kebijakan ini berpotensi memperlambat bahkan membalikkan capaian pengentasan kemiskinan di desa.
- Dana Desa harus dijaga keberlanjutannya sebagai investasi jangka panjang bagi pembangunan perdesaan, bukan dianggap beban fiskal semata.
- Pemerintah daerah perlu memperkuat perencanaan dan pengawasan agar pemanfaatan Dana Desa lebih tepat sasaran, terutama untuk pemberdayaan masyarakat miskin, perempuan, dan kelompok rentan.
- Sinergi antarlevel pemerintahan — pusat, provinsi, kabupaten, dan desa — harus diperkuat agar pembangunan desa tidak hanya berfokus pada infrastruktur, tetapi juga peningkatan kualitas layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi produktif.
Pada akhirnya, arah kebijakan fiskal adalah cerminan keberpihakan negara terhadap rakyatnya. Desa yang kuat adalah pondasi bagi kesejahteraan nasional. Karena itu, menjaga keberlanjutan Dana Desa dan TKD bukan hanya urusan fiskal, melainkan komitmen moral negara untuk menyejahterakan warganya dari pinggiran hingga pusat.
Penulis; M. Syahrudin