Pada APBD Provinsi Riau tahun 2025, Pendapatan daerah ditetapkan sebesar Rp9,56 triliun dan belanja daerah sebesar Rp9,69 triliun dengan diproyeksi defisit sebesar Rp132 miliar yang ditutupi sipa tahun 2024. Proyeksi APBD tahun 2025 mengalami penurunan cukup signifikan dari tahun 2024 yaitu menurun sebesar 15% yang mencapai Rp11,19 triliun. Artinya, ada potensi kehilangan pendapatan daerah sebesar Rp1,55 triliun, sumber pendapatan yang hilang tersebut terbesar bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yaitu pajak daerah yang tidak optimal, dan penyesuaian dana transfer pusat.
Selain itu, Provinsi Riau dan 12 Kabupaten/kota juga dihadapkan pada defisit anggaran hingga akhir tahun 2024, defisit anggaran terjadi akibat terjadinya tunda bayar Dana Bagi Hasil (DBH) dari pemerintah pusat, masing-masing Provinsi Riau sebesar Rp315 miliar, Kab. Siak Rp229 miliar, Kota Pekanbaru Rp300 miliar, Rokan Hulu Rp125 miliar, Kab. Pelalawan Rp72 miliar, dan Kep. Meranti Rp51,5 miliar, dan daerah lainnya juga mengalami hal yang sama namun tidak ditemukan data yang tersedia secara pasti.
Khususnya dana bagi hasil (DBH) pajak dan sumberdaya alam, sesungguhnya pemerintah pusat tidak bisa secara serta merta melakukan pemotongan pada tunda bayar/hutang pemerintah pusat, karena ketentuannya diatur dalam UU HKPD, sesuai surat penetapan tunda bayar DBH hingga tahun 2023 untuk pemerintah Provinsi Riau dan 12 kabupaten/kota mencapai Rp1,65 triliun, angka ini belum termasuk tunda bayar tahun 2024 diatas, dan potensial pada tahun 2025 akan terjadi kembali.
Untuk itu, langkah strategis yang harus diambil oleh Gubernur Riau yang baru, adalah sebagasi berikut;
- Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah
Provinsi Riau sesungguhnya memiliki tingkat kemandirian keuangan daerah yang relatif baik, Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari pajak, retribusi, dan pendapatan lainnya yang sah tahun 2025 mencapai 54% atau Rp5,18 triliun dari total pendapatan daerah, meskipun terjadi penurunan dari tahun sebelumnya tahun 2024 kontribusi PAD mencapai 59% atau Rp5,9 triliun. Dengan kondisi keuangan darah tersebut seharusnya tidak ada kendala bagi pemerintah daerah untuk membiayai kebutuhan program strategis daerah;
Berbeda sekali dengan kondisi keuangan daerah kabupaten/kota, tingkat ketergantungan dari dana transfer (DBH, DAU, DAK, Insentif), ketergantungan keuangan Kabupaten/kota dari dana transfer cukup tinggi secara keseluruhan daerah rerata mencapai 84% dari total pendapatan daerah. Sedangkan yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih sangat kecil dibawah angka 20% dari total pendapatan.
Potensi Pajak yang tidak tercapai;
Pajak daerah merupakan potensi terbesar menopang pendapatan daerah, secara ideal setiap tahun penerimaan pajak seharusnya meningkat karena bertambahnya objek pajak baru. Selain itu, pemerintah daerah perlu mengoptimalkan realiasi penerimaan pajak setiap tahunnya, misalnya pada proyeksi 2025 penerimaan justru menurun, tahun 2024 penerimaan pajak mencapai Rp4,3 triliun turun menjadi Rp3,7 triliun, artinya pemerintah potensi kehilangan objek pajak sebelumnya, belum lagi kepatuhan pembayaran pajak.
- Penyesuaian Pendapatan Dana Transfer (Kurang Bayar DBH, DAU, DAK Fisik)
Sesuai Inpres No. 1 Tahun 2025 terkait efesiensi anggaran pusat dan daerah, yang diturunkan dalam Keputusan Menteri Kuangan (KMK) No. 29 Tahun 2025, pemerintah Provinsi Riau perlu melakukan penyesuaian pendapatan yang bersumber dari Dana Transfer Pusat.
Potensial berkurangnya pendapatan dari dana transfer pusat untuk Provinsi Riau tahun 2025 mencapai Rp273,9 miliar, terdiri dari tiga pos anggaran yaitu; kurang bayar DBH tahun 2024 sebesar Rp157,5 miliar, DAU sebesar Rp48,3 miliar, DAK fisik Rp 68,1 miliar. Dengan demikian, pemerintah daerah harus menyesuaikan kembali besaran pendapatan dan belanja daerah yang bersumber dari dana transfer tersebut. Khusus untuk tunda bayar DBH masih asumsi dari ketentuan 50% dana DBH yang tertunda penyalurannya sampai diterbitkan keputusan menteri keuangan selanjutnya.
Dengan terjadinya pemotongan dana transfer pusat tersebut, sesungguhnya tidak menjadi masalah besar bagi pemerintah Provinsi Riau, karena secara kemandirian keuangan sudah cukup tinggi, terutama yang bersumber dari Pajak daerah dapat dioptimalkan kedepannya.
- Efesiensi Belanja Daerah tahun 2025
Selain terjadinya penurunan pendapatan dari dana transfer akibat efesiensi belanja pemerintah pusat, pemerintah daerah Provinsi Riau juga harus melakukan efesiensi belanja dalam APBD 2025, diantaranya; pemangkasan biaya perjalanan dinas 50%, pembatasan kegiatan seremonial seperti seminar, diskusi dan sejenisnya, penghematan belanja ATK, biaya konsultan, dan kegiatan lainnya yang tidak berdampak pada output yang terukur.
Dari total belanja daerah tahun 2025 yang ditetapkan sebesar Rp 9,69 triliun, potensial anggaran yang dapat diefesiensikan terdapat pada 10 pos belanja yang mencapai Rp420,6 miliar. Anggaran terbesar yang dapat dikurangi adalah pada pos belanja hibah kepada instansi pemerintah pusat mencapai 95,2% atau Rp145,9 miiar, belanja perjalanan dinas sebesar 50% yaitu Rp176,3 miliar, baik iuntuk perjalanan dinas dalam negeri maupun luar negeri.
Kemudian secara khusus pada pos anggaran perjalanan dinas dan hibah kepada pemerintah pusat perlu efesiensi yang lebih besar karena proporsinya jauh lebih besar dari pos anggaran lainnya dan rawan terjadinya tindakan korupsi seperti saat ini sedang diusut penegak hukum. Selajuntnya, belanja hibah pemerintah pusat perlu diperketat kerena sebesar 95% digunakan untuk pembangunan infrastruktur baru dan anggaran ini dapat dialihkan mendukung infrastruktur layanan dasar masyarakat yang saat ini sangat terbatas, seperti sekolah, puskesmas dan jalan desa.
Gubernur Riau dapat menggunakan diskresinya mengatur keuangan daerah, misalnya mengehentikan pembanguan infrastruktur yang bukan kewenangan daerah, Fitra mencatat dalam empat tahun terakhit alokasi anggaran untuk perkantoran instansi pusat cukup besar antara lain pembangunan Kantor Kejati, Polda, Korem, dan rumah sakit bayangkara, dan instansi vertikal ditingkat kabupaten/kota. Untuk itu, pada tahun 2025 seharusnya tidak ada lagi pembangunan instansi pemerintah pusat apalagi dengan terjadinya efesiensi anggaran ini.
- Rekomendasi; Realokasi anggaran untuk program priotitas
Terjadinya penurunan pendapatan dan belanja tahun 2025 ternyata juga tidak merubah pola perencanaan anggaran, pemda masih senang melakukan kegiatan yang potensial terjadi pemborosan anggaran dan kegiatan yang bukan kewenangan pemerintah daerah.
Selanjutnya, melalui Inpres No.1 tahun 2025, secara tegas mengintruksikan agar pemerintah daerah untuk memprioritaskan belanja daerah yang berdampak langsung terhadap peningkatan pelayanan publik dan kesejahtertehaan masyarakat, diantaranya;
- Peningkatan pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan), Kualitas pendidikan saat ini belum tersedia sarpras pendidikan secara memadai seperti kekurangan ruang belajar, infrastruktur sekolah rusak dan akses pendidikan terbatas. Sektor kesehatan juga belum tersedia sarpras yang lengkap hingga level desa dan akses kesehatan yang terbatas. Tahun 2024 sekolah tingkat SLTA masih terdapat kekurangan ruang belajar dan kondisi sekolah rusak.
- Peningkatan alokasi anggaran perlindungan sosial dan kesejahteraan masyarakat, Dukungan anggaran perlindungan sosial dan kesehateraan masyarakat masih sangat minim, dalam empat tahun terakhir rerata hanya 1,1% dari total belanja daerah, bahkan sebaran angka kemiskinan juga menunjukan daerah yang kaya sumber daya alam justru menyumbangkan kemiskinan yang besar;
- Perlindungan lingkungan hidup dan kehutanan, Provinsi Riau juga dihadapkan pada persoalan lingkungan hidup dan kehutanan, serta perlindungan masyarakat lokal/adat. Dukungan anggaran untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan berkelanjutan juga masih sangat minim, rerata hanya 1,4% dari total belanja daerah, sedangkan permasalahan yang ditimbulkan cukup berat Seperti deforestasi, konflik lahan, karhutla, banjir, abrasi dan kerusahakan ekosistem mangrove dan kawasan pesisir.