Pekanbaru, [28 Agustus 2025] — Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau menyoroti
kebijakan pemerintah pusat dalam Nota Keuangan RAPBN Tahun 2026 yang memangkas dana Transfer
Ke Daerah (TKD) mencapai 25%. Alih-alih pemerintah pusat bisa memperkuat kapasitas fiskal daerah,
justru melakukan pemangkasan dana TKD yang merupakan sumber utama pendapatan daerah.
Kebijakan Pemangkasan dana TKD oleh pemerintah pusat seharusnya disertai dengan alasan hukum yang
kuat dan perhitungan yang adil antar pusat dan daerah. Dana Bagi Hasil (DBH) pemerintah pusat tidak
bisa semena-mena melakukan pemotongan karena ketentuan formula pembagiannya telah diatur dalam
UU HKPD. Sehingga UU APBN 2026 bertentangan dengan ketentuan UU HKPD tersebut, termasuk klausul
pembagian DBH kepada pemerintah darah hanya sebesar 50% dari total DBH yang dipungut pemerintah
pusat.
Kondisi tersebut tentunya berpotensi mengancam layanan publik dan memperlebar ketimpangan fiskal
antara pusat dan daerah, dan semakin terbatasnya kemampuan daerah untuk membiayai program
pembangunan daerah. Proyeksi APBD 2026, seluruh daerah di Provinsi Riau akan mengalami penurunan
pendapatan cukup signifikan, persentase penurunan bervariasi antar daerah, dengan rata-rata
penurunan mencapai antara 11% hingga 22%. Angka ini dihitung berdasarkan besaran Dana TKD yang
ditetapkan dalam APBD tahun 2025.
Secara umum, Provinsi Riau mengalami penurunan paling rendah dengan angka 11,4%, sementara
Kabupaten Rokan Hulu mencatat penurunan tertinggi sebesar 22,0%. Kabupaten Rokan Hilir, Indragiri
Hilir, Indragiri Hulu, dan Kuansing menurun sebesar 21,5%-21,7%. Begitu juga Kabupaten Kampar, Siak,
dan Pelalawan menurun sebesar 20,0-20,9%. Kepulauan Meranti sebesar 19,8%, Bengkalis 18,9%, Kota
Pekanbaru 14,7%, dan Kota Dumai 14,3%.
Secara total pemangkasan dana TKD yang direncanakan dalam Nota Keuangan RAPBN Tahun 2026 untuk
Provinsi dan 12 Kabupaten/Kota se-Riau mencapai Rp6,39 triliun, yang bersumber dari Dana Bagi Hasil
(DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Desa dan Insentif Fiskal.
Lebih rinci, Pendapatan Provinsi Riau turun dari Rp9,56 triliun pada 2025 menjadi Rp8,47 triliun pada
2026, atau menurun sebesar 11,4%. Kabupaten Rokan Hulu dari Rp1,55 triliun pada 2025 menjadi Rp
1,20 triliun pada 2026 (22,0%), Rokan Hilir turun dari Rp2,52 triliun menjadi Rp1,98 triliun (21,7%),
Indragiri Hilir turun dari Rp2,04 triliun menjadi Rp1,60 triliun, Indragiri Hulu turun dari Rp1,50 triliun
manjadi Rp1,18 triliun, dan Kuansing turun dari Rp1,69 manjadi Rp1,33 triliun masing-masing turun
sekitar 21,5%.
Selanjutnya Kabupaten Kampar turun dari Rp 3,1 triliun menjadi Rp 2,46 triliun (20,9%), Siak turun dari
Rp 2,95 triliun menjadi Rp 2,34 triliun (20,5%), Pelalawan turun dari Rp 1,89 triliun menjadi Rp 1,51
triliun (20,0%), Bengkalis turun dari Rp 3,21 triliun menjadi Rp 2,60 triliun (18,9%), Kepulauan Meranti
turun dari Rp 1,38 triliun menjadi Rp 1,11 triliun (19,8%), Kota Dumai turun dari Rp 2,07 triliun menjadi
Rp 1,78 triliun (14,3%), dan Kota Pekanbaru turun dari Rp 3,21 triliun menjadi Rp 2,74 triliun (14,7%).
Terjadinya penurunan pendapatan daerah dari dana transfer tahun 2026 semakin memperparah
kapasitas fiskal daerah yang sebabkan tingkat kemandirian keuangan yang cukup rendah, sebagian besar
pendapatan daerah bergantung dari DBH pada sektor ekstraktif (minyak, gas, pertambangan, hutan, dan
perkebunan) yang menghadapi fluktuasi harga global. Disisi lain, lambannya diversifikasi ekonomi daerah
dalam mengembangkan sektor industri, pariwisata, dan UMKM untuk mendongkrak Pendapatan Asli
Daerah (PAD).
Provinsi Riau relatif lebih aman, mengacu pada APBD tahun 2025 pendapatan dari Dana Transfer
berkontribusi sebesar 45%, kemudian di topang dari PAD dan lain-lain pendapatan mencapai 55%.
Sedangkan pemerintah kabupaten/kota ketergantungan dari Dana Transfer pusat cukup tinggi, misalnya
tahun 2025 kontribusi Dana Transfer mencapai 78%, sedangkan PADnya rerata hanya 22% dari seluruh
daerah di Riau.
Dampak dari penurunan pendapatan ini, didaerah akan terpangkasnya layanan dasar di sektor
pendidikan, kesehatan, infrastruktur dasar, serta upaya penanggulangan kemiskinan dan lainnya.
Kemudian meningkatnya risiko ketidakadilan fiskal, karena daerah dengan PAD rendah akan lebih rentan
menghadapi krisis keuangan. Serta melemahnya semangat desentralisasi, dimana fungsi pemerintahan
daerah tidak diimbangi dengan sumber daya fiskal yang memadai.
Rekomendasi Fitra Riau;
– Pemerintah pusat perlu menata ulang kebijakan pemangkasan Dana Transfer Daerah (TKD)
sebagaimana yang ditetapkan dalam Nota Keuangan RAPBN tahun 2026, dan membuka dasar
perhitungan penurunan dana transfer agar tidak menimbulkan kesan fiscal recentralization dan
berpotensi melanggar ketentuan perundang-undangan.
– Pemerintah pusat perlu menyiapkan safety net khusus untuk daerah dengan ketergantungan
tinggi pada dana transfer pusat, seperti menyiapkan insentif fiskal, relaksasi regulasi penggunaan
Silpa dan akses pinjaman murah agar tidak tejebak pada krisis fiskal.
– Pemerintah daerah segera melakukan spending review terhadap program kegiatan yang tidak
berdampak langsung terhadap indikator pembangunan daerah seperti pemenuhan layanan
dasar, infrastruktur publik dan upaya pengentasan kemiskinan.
– Pemerintah Daerah perlu melakukan reformasi birokrasi khususnya pada perencanaan
pembangunan berbasis kinerja, layanan publik secara digital, optimalisasi aset, transparansi
pengadaan barang dan jasa, serta kelembagaan dan SDM yang ramping dan profesional.
– Pemerintah daerah melakukan konsolidasi lintas daerah, dapat melalui Asosiasi Pemeritahan
yang ada untuk memberikan pandangan dan tekanan kepada pemerintah pusat sebelum APBN
2026 ditetapkan.
CP;
– Tarmidzi/ Koordinator (085278175515)
– Sartika/ Manager Advokasi (+62 813-6371-1345)