Berbagai inisiatif dalam upaya penyelamatan lingkungan hidup melalui pencegahan deforestasi dan degradasi lahan diluncurkan. Namun dalam prakteknya inisiatif tersebut belum tercermin dalam komitmen kebijakan. Fitra Riau memandang salah satu hambatan dalam upaya mewujudkan perbaikan tata kelola hutan dan lahan salah satunya dari aspek kebijakan anggaran yang disediakan oleh pemerintah. Hal itu disebabkan kebijakan pembangunan yang tertuang dalam dokumen kebijakan belum mencerminkan keberpihakan terhadap penyelematan hutan dan lahan yang inovatif.
Aspek lainnya, yang diyakini menjadi penyebab semakin tingginya laju deforestasi dan kerusakan hutan adalah kebijakan pemanfaatan hutan dan lahan belum dilaksanakan secara transparan dan akuntabel. Hal itu dibuktikan dengan kesadaran dan komitmen pemerintah untuk membuka informasi secara proaktif kepada masyarakat yang bekontribusi terhadap rendahnya partisipasi masyarakat. Rendahnya keterbukaan informasi juga menghambat akselerasi perhutanan sosial di Riau. Hingga tahun 2018, perhutanan sosial di Riau baru tercapai 80an ribu hektar. Angka tersebut masih sangat jauh dari yang ditargetkan dalam Peta Indikatif Perhutanan Sosial (PIAPS) sebesar 1,4 Juta hektar.
Sebagai kelanjutan dari capaian pelaksanaan program sebelumnya, tahun 2019 melalui dukungan The Asia Foundation (TAF) dalam program SETAPAK II, Fitra Riau kembali menjalankan program dalam upaya memperbaiki tata kelola hutan dan lahan melalui peningkatan transparansi dan peningkatan kebijakan anggaran lingkungan tahap 4. Dengan tiga fokus area intervensi, yaitu peningkatan transparansi dan akuntabilitas, peningkatan kebijakan anggaran dan penguatan masyarakat sipil.
Pada tahap ini, untuk peningkatan transparansi terkait dengan informasi tata kelola hutan dan lahan dilakukan melalui kolaborasi bersama CSO dan komunitas lokal di Riau untuk melakukan akses informasi publik yang dibutuhkan. Kolaborasi ini dilakukan sekaligus dalam rangka melakukan uji akses informasi kepada badan publik se Provinsi Riau terhadap dokumen yang relevan dengan TKHL. Hasil dari proses uji akses tersebut didokumentasikan menjadi hasil penilaian masyarakat sipil terhadap kinerja keterbukaan informasi di Riau yang didiseminasikan kepada pemerintah daerah sebagai refleksi dan perbaikan kinerja kedepan.
Pada aspek anggaran lingkungan, intervensi program diarahkan untuk mendorong pengembangan implementasi skema baru kebijakan anggaran lingkungan dalam bentuk Transfer Anggaran Provinsi berbasis Ekologi (TAPE) dan transfer anggaran Kabupaten berbasis ekologi (TAKE). Skema kebijakan alternatif ini dalam rangka memberikan stimulus kepada pemerintah daerah Kabupaten dengan sekema TAPE agar meningkatkan kinerja perbaikan lingkungan. Sedangkan TAKE dalam rangka untuk memberikan stimulus kepada pemerintah desa dalam meningkatkan kinerja lingkungan lokal skala desa.
Program ini dilaksanakan untuk lima wilayah intervensi daerah, yaitu Provinsi Riau, Kabupaten Indragiri Hulu, Kampar, dan Kabupaten Kepulauan Meranti. Upaya mendorong kebijakan dilakukan dengan kolaborasi bersama pemerintah daerah, melalui penguatan kapasitas, technical asistensi dan serangkan kampanye publik. Tidak hanya dengan Pemerintah Daerah Fitra Riau berkolaborasi dengan CSO di Riau yang bergerak pada isu lingkungan, serta komunitas lokal di tingkat daerah.
Selain itu, program ini juga mendorong gerakan perempuan dalam advokasi kebijakan anggaran di daerah. Baik dalam isu lingkungan hidup maupun dalam kebijakan pelayanan dasar publik. Upaya ini dilakukan melalui penguatan kapasitas perempuan dalam kebijakan anggaran, pelaksanaan akses informasi dan analisis anggaran, serta mendampingi kelompok perempuan dalam advokasi (dialog, diskusi publik) terkait dengan kebijakan anggaran responsip gender. Untuk pengorganisasi gerakan perempuan ini dibentuk komunitas perempuan peduli anggaran.*** (Try, Tmz)