Alokasi belanja pegawai dalam APBD Provinsi Riau tahun 2025 mencapai Rp2,96 triliun, atau sekitar
30,5% dari total belanja daerah sebesar Rp9,69 triliun. Angka ini sedikit melampaui ambang mandatory
spending belanja pegawai yang ditetapkan maksimal 30% dari total belanja daeah. Proporsi ini
menunjukkan bahwa ruang fiskal untuk belanja publik yang langsung menyentuh masyarakat menjadi
semakin terbatas. Belanja pegawai yang terus menekan porsi APBD dapat menimbulkan
ketidakseimbangan antara belanja aparatur dengan kebutuhan pembangunan.
Secara lebih rinci, komposisi belanja pegawai Riau 2025 sebesar Rp2,96 triliun tersebut terdiri dari, gaji
dan tunjangan ASN Rp1,45 triliun, sementara tambahan penghasilan pegawai (TPP) mencapai Rp1,43
triliun. Angka ini nyaris sama besar, bahkan hampir menyamai gaji pokok. Padahal, secara prinsip, TPP
seharusnya merupakan insentif berbasis kinerja yang diberikan untuk mendorong efektivitas birokrasi,
bukan menjadi komponen rutin setara gaji. Ketika TPP porsinya setara dengan gaji pokok, maka muncul
pertanyaan apakah mekanisme pemberian TPP benar-benar berlandaskan prestasi kerja, atau sekadar
menjadi “gaji kedua” yang sifatnya otomatis.
Konsekuensi dari pola ini cukup serius. Dari sisi fiskal, ruang APBD untuk membiayai program
pembangunan masyarakat berkurang signifikan karena sebagian besar terserap untuk belanja pegawai.
Dari sisi tata kelola, TPP yang besar dan bersifat rutin berpotensi menciptakan distorsi insentif. ASN bisa
saja memandang TPP bukan lagi penghargaan atas kinerja, melainkan hak melekat yang tidak terkait
dengan capaian kerja. Situasi ini tentu berlawanan dengan tujuan awal kebijakan TPP sebagai pemicu
peningkatan produktivitas dan pelayanan publik.
Kebijakan TPP sendiri diatur melalui Peraturan Gubernur Riau No. 59 Tahun 2021 tentang Tambahan
Penghasilan Pegawai ASN. Pergub tersebut menegaskan bahwa TPP diberikan berdasarkan indikator
objektif seperti beban kerja, tempat bertugas, kondisi kerja, kelangkaan profesi, serta pertimbangan
kinerja. Secara normatif, aturan ini cukup baik karena menekankan prinsip meritokrasi. Namun, jika
dilihat dari besaran alokasi anggaran, muncul keraguan publik apakah prinsip tersebut benar-benar
dijalankan. Tanpa evaluasi yang transparan, sulit memastikan bahwa pemberian TPP memang sesuai
dengan parameter kinerja yang diatur dalam Pergub.
Oleh karena itu, ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan. Pertama, Pemerintah Provinsi
Riau harus membuka secara transparan mekanisme pengukuran kinerja ASN sebagai dasar pemberian
TPP, sehingga publik dapat menilai efektivitas kebijakan ini. Kedua, DPRD Riau harus memperketat fungsi pengawasan, agar TPP tidak berubah menjadi belanja rutin yang menggerus ruang fiskal pembangunan.
Ketiga, pemerintah daerah perlu melakukan audit efektivitas TPP, untuk menjawab apakah pemberian
tambahan penghasilan ini benar-benar meningkatkan kualitas birokrasi dan pelayanan publik, atau hanya
menambah beban anggaran.
Pada akhirnya, belanja pegawai yang begitu besar, terutama dengan TPP hampir setara gaji pokok,
menuntut evaluasi serius. APBD seharusnya tidak semata-mata menjadi instrumen untuk memenuhi
kesejahteraan aparatur, tetapi juga memastikan belanja yang berpihak pada masyarakat luas. Dengan
proporsi belanja pegawai yang tinggi, terutama dalam bentuk TPP, ada risiko bahwa prioritas
pembangunan publik menjadi terpinggirkan. Pemerintah Provinsi Riau perlu menyeimbangkan antara
belanja aparatur dengan belanja publik, agar APBD benar-benar menjadi instrumen pembangunan yang
adil dan bermanfaat bagi masyarakat.
Tarmidzi – Koordinator Fitra Riau