FR – Lebih dari Rp. 300 Milyar dana bagi hasil (DBH) Dana Reboisasi (DR) yang masih mengendap di kas daerah kabupaten/kota penghasil industri kehutanan di Riau. Meski telah ada aturan baru dalam memanfaatkan dana tersebut secara lebih fleksibel, namun pemerintah daerah masih belum maksimal mengimplementasikannya, bahkan ada yang sama sekali belum menggunakannya. Dilain sisi kebakaran hutan dan lahan masih terus terjadi, seharusnya dapat diatasi dengan pembiayaan DBH DR.
Pengaturan penggunaan DR saat ini diatur melalui PMK nomor 230 tahun 2017 dan telah diperbaharui dengan PMK nomor 131 tahun 2019 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Kehutanan Dana Reboisasi, melalui ketentuan tersebut DBH DR Provinsi dan DBH DR Sisa yang masih ada di kabupaten/kota dapat digunakan untuk kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan meliputi perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi dan kegiatan pendukungnya. Sedangkan sisa DBH DR Kabupaten/Kota digunakan untuk pengelolaan taman hutan raya, pencegahan dan penanggulangan karhutla dan penanaman pada daerah aliran sungai kritis, penanaman pada kanan kiri sungai, dan pengadaan bangunan konservasi tanah dan air.
Atas dasar itu, 19 September 2019, Fitra Riau melalui program SETAPAK II menyelenggarakan workshop dengan tema “evaluasi pemanfaatan DBH DR Provinsi Riau dan kabupaten/kota di Riau”. Workshop ini dilaksanakan dalam rangka mengevaluasi pemerintah daerah dalam mengimplementasikan anggaran tersebut. Mengidentifikasi hambatan, serta bersama-sama mencari solusi untuk mengatasinya. Kegiatan ini menghadirkan seluruh pemerintah daerah baik Provinsi dan kabupaten/kota yang memiliki sisa DBH DR.
Plt Sekda Riau dalam paparannya mengatakan, pemerintah daerah provinsi Riau berkomitmen, Penggunaan DBH DR khususnya yang di provinsi Riau sejak tahun 2017 dapat dioptimalkan untuk melakukan pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Seperti pemanfaatan, pengelolaan lahan dan lahan yang produktif, misalnya melalui skema perhutanan sosial dan reforma agraria.
“Implementasi kebijakan perhutanan sosial dan tanah objek reforma agraria (TORA), hingga saat ini terus diupayakan pemerintah Provinsi Riau agar kebijakan tersebut benar-benar dapat diimplementasikan. Untuk menjalankan kebijakan tersebut dengan kerja-kerja kolaborasi antar pemerintah daerah dan dibutuhkan dukungan anggaran yang memadai untuk memastikan hal tersebut dapat terwujud. Salah satu peluangnya adalah bersumber dari dana reboisasi (DR)”, Sebut Ahmad Syahrofi, PLt Sekda Provinsi Riau dalam sambutannya membuka workshop.
Belum Maksimal Penggunaan DR
Berdasarkan studi yang dilakukan Fitra Riau, yang dipaparkan dalam forum workshop itu menyimpulkan bahwa daerah belum maksimal dalam merealisasikan DBH DR. Meskipun aturan baru sebagaimana diatur dalam PMK 230 tahun 2017 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Dana Reboisasi (DBH DR) sudah jelas mengatur mekanisme penggunaannya.
Berdasarkan data definitive kementerian keuangan RI, tercatat sekitar Rp.315,7 M sisa DBH DR yang masih mengendap di kas daerah 8 (delapan) kabupaten/kota di Riau sampai akhir 2018. Daerah tersebut yaitu Kabupaten Pelalawan Rp.90,5 M, Siak 80,2 M, Kota Dumai Rp.53,7 M, Kabupaten Meranti 31,3 M, Kabupaten Inhu Rp27,1 M, Kabupaten Rohul Rp.18,5 M, Kabupaten Rohil Rp.10,8 M dan Kabupaten Kampar Rp.2,7 M.
“Dua tahun ini sejak tahun 2017 realisasi DR baik provinsi dan kabupaten/kota sangat kecil, yaitu hanya terserap sekitar 12% atau sebesar Rp43,9 milyar dari total sisa DBH DR di 8 kabupaten Kota sebesar Rp359,6 milyar. Daerah yang paling besar merealisasikan DBH DR yaitu Kab. Pelalawan sebesar Rp20,7 milyar, selanjutnya Kab. Meranti sebesar Rp14, 5 milyar, sedangkan daerah lainnya rata-rata terserap sekitar Rp1,4 milyar, yang sebagian besar digunakan untuk pengendalian Karhutla” sebut Tarmizi.
Daerah yang memiliki sisa DBH DR justru menjadi lokasi Karhutla, berdasarkan data dari BMKG Riau tahun 2019 mencatat persebaran titik api/hotspot di Riau sebanyak 3.388 titik api yang tersebar di 12 Kabupaten/kota, tertinggi terdapat di Pelalawan 764 titik, Inhil 754 titik, Bengkalis 743 titik, Rohil 469 titik, Meranti 273 titik, Siak 261 titik, dan Inhu 194 titik, Dumai 138 titik, juga terdapat di Kampar 38 titik, Kuansing 16 titik dan Rohul 7 titik.
“Seharusnya upaya pencegahan Karhutla dapat dimaksimalkan oleh pemerintah kabupaten/kota yang dapat dibiayai dari sisa DBH DR tersebut yang terdapat di kas masing-masing daerah, bahkan pemerintah daerah banyak mengeluh bahwa pencegahan karhutla tidak maksimal karna keterbatasan anggaran, padahal sisa DBH DR masih sangat tinggi, mengapa tidak dapat dimaksimalkan, apalagi kewenangan kabupaten/kota sudah diperluas melalui PMK 230 tahun 2017”, ungkap Tarmidzi dalam kegiatan workshop evaluasi DBH DR di Riau.
Tidak hanya untuk pengendalian Karhutla, di tingkat provinsi Riau daerah berpeluangmenggunakan anggaran tersebut untuk percepatan perhutanan sosial dapat melalui DBH DR. Seperti fasilitasi usulan izin perhutsos, jaminan hak kelola (sosialisasi, pemetaan, pembinaan, verfikasi), Pengelolaan Perhutsos pasca izin, peningkatan ekonomi (pembibitan, penanaman, pengelolaan). Karena selama ini anggaran yang disediakan oleh Provinsi untuk perhutanan sosial dalam empat tahun (2016-2019) rata-rata Rp435 juta/tahun.
Berdasarkan hasil studi Fitra Riau, Tarmizi menjelaskan permasalahan utama tidak maksimalnya penggunaan DBH DR ini adalah karna adanya peralihan kewenangan kabupaten/kota sektor kehutanan menjadi kewenangan provinsi, meskipun penggunaan DBH DR telah diperluas melalui PMK 230 tahun 2017, kemudian di lakukan perubahan menjadi PMK 131 tahun 2019, ternyata masih terdapat kendala di daerah, misalnya pemda kabupaten/kota lebih besar menggunakan DBH DR untuk pengadaan alat pemadam kebakaran, otomatis pada tahun berikutnya tidak mungkin untuk membeli alat lagi, sedangkan upaya pencegahan dengan melibatkan masyarakat atau MPA sangat sedikit. selain itu, tidak dilakukan upaya rehabilitasi lahan seperti penanaman, pembibitan yang dapat dimanfaatkan dari dana reboisasi.
Untuk itu, Fitra Riau merekomendasikan bahwa sisa DBH DR yang terdapat di 8 Kabupaten/kota senilai Rp315 milyar digunakan untuk pencegahan dan penanggulangan karhutla sesuai mandat dari PMK 131 tahun 2019, apalagi dengan adanya prediksi dari BMKG bahwa akan terjadi kemarau panjang di Provinsi Riau pada tahun 2020 ini, dengan demikian tidak ada alasan lagi bagi daerah untuk melakukan upaya pengendalian karhutla karna keterbatasn anggaran. Kemudian, untuk Provinsi Riau lebih harus mempercepat implementasi perhutanan sosial dan tora melalui dana rebosiasi yang diterima setiap tahunnya kedepan, karna urusan kehutanan menjadi kewenagan provinsi, sekaligus melakukan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.
Ramlan Nugraha, perwakilan Pattiro Jakarta, mengatakan bahwa DBH DRmenjadi sumber daya fiscal yang bisa dimanfaatkan oleh daerah, dengan perluasan penggunaannya, pemda Provinsi dapat membiayai untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL),pencegahan Karhutla dan pengelolaan kehutanan. Sedangkan Kab/kota dapat digunakan untuk pengelolaan hutan raya, pencegahan dan penanggulangan Karhuta, penanaman pohon pada lahan diluar kawasan, penanaman bambu pada kanan kiri sungai dan sempada danau.
Pemerintah pusat akan merevisi PMK 230/2017 yang sedang bergulir di kementrian keuangan, revisi tersebut untuk menyesuaikan kewenangan pemda dalam urusan kehutanan terutama bagi pemda Kabupaten/Kota melalui UU 23 tahun 2014. Meskipun demikian, pemda tidak perlu khawatir tentang regulasi DBH DR, karena PMK 230 tahun 2017 merupakan mandate dari UU APBD 2018 dan telah disesuaikan dengan Permendagri tentang pedoman penyusunan APBD.
Tindak Lanjut dan Komitmen Daerah
Melalui workshop ini, difasilitasi oleh Ramlan Nugraha, pemerintah daerah yang terlibat diajak untuk mengindentifikasi rencana-rencana kegiatan yang telah disusun oleh pemerintah daerah yang akan diusulkan untuk tahun 2020. Dari 8 Kabupaten/kota yang mengikuti workshop tersebut, sebagian besar mengusulkan untuk pencegahan dan penanggulangan Karhutla. Sedangkan Provinsi Riau selain untuk kegiatan pengendalian karhutla, juga diusulkan untuk mendukung perhutanan sosial seperti pengembangan, penyuluhan dan pengawasan perhutnanan sosial dan penaganan konfilk dikawasan hutan adat yang masuk dalam skema perhutanan sosial.
Berdasarkan hasil identifikasi rencana DBH DR kabupaten/kota tahun 2020 nanti. Kabupaten Pelalawan merencanakan kegiatan pendampingan MPA, sosialiasi dan penyuluhan pencegahan akrhutla, pembibitan dan pembenihan tanaman hutan dan pengadaan alat pemadam kebakaran. Kabupaten Kampar merencanakan untuk pengendalian kerusakan hutan lahan, pendampingan MPA, pengadaan alat pemantauan, patroli pencegahan karhutla dan pengadaan sarana transportasi patroli.
Kabupaten Indragiri Hulu merencanakan kegiatan penanaman pohon diluar kawasan, pembibitan dan pembenihan, penanaman kanan kiri sungai, dan pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasanana pencegahana karhutla. Kabupaten Rokan Hulu merencananakan kegiatan untuk pengadaan dan pengembangan sarana prasarana pencegahan karhutla, praktek pembukaan lahan tanpa bakar, sosialisasi pencegahan karhutla dan penanaman pohon kanan kiri sungai.
Kabupaten Meranti melakukan kegiatan sosialisasi, patroli, pemadaman karhutla, rehabilitasi lahan bekas terbakar, pendampingan MPA, dan pengadaan sarana prasarana pengendalian karhutla. Kabupaten Rokan Hilir merencanakan kegiatan pengadaan sarana prasarana pengendalian karhutla, penguluhan, patroli pencegahan karhutla dan pendampingan dan penguaatan MPA dalam pencegahan karhutla.