FR2022 – Pendanaan murni APBD diyakini tidak akan mampu untuk menjalankan kebijakan Siak Kabupaten Hijau sepenuhnya. Salah satu strategi akselerasi implementasi inovasi daerah Kabupaten Siak dalam perlindungan Lingkungan Hidup ini diperlukan skenario kebijakan pembiayaan baru dari sumber lain. Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) menjadi alternatif model kelembagaan yang dapat dikembangkan daerah.
Demikian itu, adalah hasil diskusi yang di taja Fitra Riau bersama para pakar (expert) terkait dengan skenario kebijakan daerah dalam pendanaan Siak Hijau diluar APBD (blended finance). Koordinator Fitra Riau, Triono Hadi, menjelaskan potensi pendanaan APBD Siak sangat kecil terhadap keseluruhan kebutuhan pendanaan Siak Hijau. Sehingga diperlukan strategi untuk membantu pemerintah daerah dalam mengembangkan skenario pendanaan baru.
Ada beberapa potensi pendanaan yang dapat di optimalkan dan dikelola secara terintegrasi. Seperti dari pendanaan swasta melalui tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Dukungan pendanaan nasional (BPDLH) dan sumber pendanaan lainnya. Namun, saat ini mekanisme berjalan sendiri dan tidak terintegrasi.
“Kabupaten Siak, telah memiliki perda Nomor 1 tahun 2013 tentang Tanggung Jawab Sosial Lingkungan Perusahaan (TJSL). Namun mekanisme hubungan antara pemerintah dan swasta adalah koordinasi melalui forum CSR. Sehingga kurang efektif dalam implementasi nya dan potensial berjalan sendiri-sendiri”, Jelas Triono Hadi.
Beberapa pakar yang dihadirkan dalam diskusi ini diantara, Endah Tri Kurniawati (Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup RI), Joko Tri Haryanto (BKF Kemenkeu), Alex Yandra (Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Unilak). Hadir juga Wiko Saputra, Misbahul Hasan (Seknas Fitra), serta pimpinan – pimpinan lembaga dari Koalisi Pendanaan Lingkungan Hidup Nasional dan Sedagho Siak.
Merujuk pada hasil diskusi, selain dengan skenario lainnya, instrument BLUD menjadi alternatif model yang sangat memungkinkan dapat dikembangkan di daerah terkait dengan Siak Hijau. BLUD adalah instrumen kelembagaan pemerintah daerah yang dapat diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Skema ini mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan yang berbeda dengan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya. Sehingga skenario kelembagaan ini menjadi alternatif untuk dikembangkan pemerintah kabupaten Siak sebagai alternatif pendanaan Siak Hijau.
Endah Tri Kurniawati, mewakili BPDLH RI, menjelaskan pembentukan BPDLH adalah alternatif kebijakan untuk mengatasi permasalahan ketimpangan antara komitmen lingkungan hidup dengan ketersediaan pendanaan yang ada. BPDLH dibentuk dengan pendekatan instrument BLUD yang dapat menghimpun dan mengelola pendanaan dari berbagai sumber termasuk didalamnya APBN.
Endah menegaskan, gagasan Fitra Riau untuk mendorong skenario pendanaan dengan blended finance ini bisa menjadi langkah baik untuk membuka ruang kolaborasi lebih besar. Mengingat sektor swasta yang bekerja pada bidang sumber daya alam sangat dominan tinggi di provinsi Riau terutama pada perkebunan sawit.
“Berdasarkan data, luas perkebunan sawit di Riau mencapai 2,9 juta hektar. Nah, Pemanfaatan pengelolaan pendanaan Corporate Social Responsibility (CSR) bisa menjadi alternatif pengembangan untuk pembiayaan keberlanjutan Siak Hijau dengan skema blended”, Jelas Endah Tri Kurniawati.
Skema yang paling tepat jika daerah ingin menerapkan pengembangan dan Pengelolaan dana lingkungan hidup non APBD adalah pembentukan lembaga Badan Layanan Unit Daerah (BLUD).Mobilisasi BLUD ini bisa menjadi alternatif pilihan untuk menghimpun pendanaan kebijakan Siak Hijau melalui supply pendanaan sub nasional, maupun donor Internasional.
Namun demikian, lanjut Endah, jika ingin mengembangkan sebuah kelembagaan pengelolaan dana sektor lingkungan dan sumber daya alam seperti pemanfaatan CSR maka kontrol tata kelola nya harus jelas. Perlu persiapan awal dengan membuat satu kerangka (platform) yang mana dalam kerangka tersebut ada pihak pemda dan swasta yang saling bersinergi. Hal ini guna memperjelas kedudukannya, bagaimana legal basic nya, bagaimana Legal Framework-nya. Yang paling penting menyediakan sistem tracking dan monev dalam pendanaan dan pendistribusian non APBD nya.
Konsep BLUD itu, dikuatkan Joko Tri Haryanto (BKF Kemenkeu). Meskipun untuk mendorong kebijakan itu tidak mudah. Karena frame kebijakan BLUD saat ini masih bertumpu pada pelayanan bukan pengelolaan pendanaan. Sehingga perlu melakukan mengkonsultasikan kepada Kementrian dalam Negeri yang memiliki fungsi tersebut.
Pendirian BLUD banyak sekali persyaratan yang harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan perundangan yang mengatur BLUD. Sehingga langkah dan tahapan demi tahapan harus dijalankan, termasuk melakukan perubahan perilaku pemerintah di daerah sebagai pengambil kebijakan. Meskipun setuju dengan skema BLUD, Joko Tri Haryanto, menyarankan untuk mendorong skema jangka pendek. Seperti bagaimana kebijakan CSR dan TAKE yang diterapkan di Siak itu dikembangkan dengan skema pendanaan diluar APBD.
“Sederhannya, bagaimana kita mengajak Pemda untuk mengarahkan program CSR untuk perlindungan lingkungan. Atau juga bisa mendorong agar TAKE Siak yang telah dikembangkan di integrasikan dengan pendanaan swasta (CSR)” Sarannya.
Pendekatan BLUD menjadi alternatif model, juga disampaikan Alex Yandra (Dekan FIA Unilak). Menurutnya, BLUD ini bisa menjadi pilihan kelembagaan yang bisa diterapkan. Apalagi fleksibilitas satuan kerja BLUD ini bisa memperoleh pendapatan dari layanan kepada publik secara signifikan dan juga dapat memberikan keleluasaan daerah dalam mengelola sumber daya untuk meningkatkan pelayanan.
Untuk mewujudkan kebijakan tersebut, memang diperlukan upaya dan langkah yang strategis. Salah satunya adalah bagaimana merubah perilaku pemerintah daerah dalam skema kebijakan ini. Hal yang lebih penting adalah memastikan apakah pendanaan dari APBD telah optimal dijalankan. Sejauh mana kontribusi APBD itu benar-benar berdampak terhadap kebijakan Siak Hijau yang telah dikomitmenkan.
Misbah Hasan Sekjen Fitra, menjelaskan pilihan-pilihan skema sebenarnya banyak yang bisa dipadukan dalam konsep yang akan diterapkan tetapi perlu adanya ramuan dalam skema bisnis modelnya. Misalnya dengan melihat pola pendanaan ekonomi hijau yang setidaknya bisa dipraktekkan salah satunya memaksimalkan pola kerja sama Pemerintah dengan Pelaku Usaha (KPPU). Ini juga diperbolehkan diintegrasikan ke tingkat daerah dan juga tawaran lainnya adalah skema filantropi.
Sebagai tindak lanjut yang harus disiapkan, perlu mendorong pemerintah untuk memastikan sumber pendanaan dan kesiapan perangkat administrasinya. Selain itu mempersiapkan penyusunan tata kelola kinerjanya dan tata kelola bisnisnya. Secara lebih lanjut diperlukan untuk merancang Roadmap operasional. *** (TF)