FR- Beragam masalah menyertai implementasi kebijakan program jaring pengaman sosial (JPS) dan pemulihan ekonomi nasional (PEN) di tingkat nasional maupun daerah. Diantaranya, data penerima manfaat yang tidak valid, bantuan tidak tepat sasaran, program yang tidak efektif, dan potensi penyelewenangan anggaran terbuka lebar. Rendahnya transparansi dan minimnya fasilitas pengaduan warga menjadi masalah utamanya.
Demikian catatan koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas anggaran penanganan covid19 yang disampaikan pada diskusi virtual, Senin, 22 Februari 2021. Kegiatan yang diselenggarakan atas kerjasama Fitra Riau dan Transparansi Internasional Indonesia (TII), untuk melakukan evaluasi dan arah kebijakan penanganan covid-19 khusunya di Riau.
Dalam diskusi ini menekankan topik pembahasan utama adalah evaluasi implementasi program jaring pengaman sosial dan pemulihan ekonomi nasional (PEN). Dihadiri oleh berbagai elemen seperti Bappeda, Dinas Kominfo, se Riau. Turut hadir juga perwakilan akademisi, perwakilan anggota legislatif serta masyarakat sipil di daerah se Riau.
Jaring pengaman sosial (JPS) dan pemulihan ekonomi nasonal (PEN) menjadi program utama pemerintah dalam penanganan dampak sosial dan ekonomi akibat covid19. Dalam implementasi terjadi berbagai persoalan baik ditingkat pusat maupun di daerah yang harus diperbaiki dalam implementasi kebijakan kedepan (2021).
Secara nasional, temuan TII dalam monitoring implementasi penanganan covid19, setidaknya menemukan beberapa permasalahan. Seperti permasalahan data tidak valid, penerima manfaat program yang tidak tepat. Temuan-temuan itu didasarkan pengumpulan informasi yang berasal dari pengaduan masyarakat yang diterima TII, monitoring lapangan langsung, maupun kompilasi temuan jaringan koalisi diberbagai daerah.
“Keterbukaan informasi anggaran sangat minim, publik tidak bisa mengetahui berapa anggaran pasti untuk penanggulangan krisis ekonomi sosial, (Bansos, BLT, BST) dan belanja program kesehatan”, Ungkap Agus Sarwono Tile dalam paparannya.
Selain itu, pemerintah tidak menyediakan platform pengaduan masyarakat yang memadai. Pengaduan yang dapat bekerja secara cepat menampung dan merespon keluhan warga yang menemukan persoalan dalam implementasi penanganan covid-19. Baik keluhan dalam akses bantuan, melaporkan kasus, dan lain sebagaimnya.
Persoalan serupa juga terjadi di Riau. Fitra Riau menjelaskan, terdapat sedikitnya Rp. 1,8 T alokasi anggaran untuk penanganan covid19 dari APBD Provinsi dan 12 Kabupaten/Kota. Anggaran tersebut dialokasi untuk penanganan kesehatan, dampak sosial dan pemulihan ekonomi nasional. Meskipun sebagian besar alokasi anggaran covid-19 digunakan untuk penanganan kesehatan. Sementara untuk dampak sosial dan ekonomi sangat kecil dan bahkan nihil dibeberapa daerah.
Minimnya transparansi anggaran penanganan covid-19 juga terjadi di Riau. Fitra Riau tidak menemukan informasi anggaran covid-19 terpublikasi secara proaktive baik di Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Sehingga sulit untuk memastikan penggunaan dari anggaran yang disediakan tersebut untuk apa saja. Informasi detail anggaran covid-19 hanya bisa diakses melalui permintaan (kasus Provinsi Riau), informasi itu juga tidak memuat secara detail termasuk realisasinya.
Begitu juga dalam implementasi program JPS dan PEN di Riau. Berbagai persoalan terjadi seperti penerima manfaat program yang tidak tepat, sulitnya menyampaikan pengaduan serta program-program yang dilaksanakan tidak efektif meningkatkan ekonomi secara berkelanjutan. Seperti program bantuan presiden – bantuan permodalan usaha mikro (Banpres-BPUM), banyak warga layak untuk mendapatkan bantuan namun tidak terdaftar sebagai penerima bantuan meskipun telah mendaftar sesuai prosedur.
“Transparansi minim, tidak proaktif, informasi realisasi belanja covid -19 tidak dipublikasikan baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Justru informasi anggaran covid-19 di daerah dapat diperoleh melalui kementrian dalam negeri, namun hanya ringkasan saja”, Jelas Taufik dalam paparannya.
Menjadi catatan juga, bahwa dalam penanganan covid-19, kebijakan tidak menggunakan pendekatan berbasis kebutuhan. Kebijakan untuk penanganan covid-19 sama rata antar Provinsi dan Provinsi dengan Kabupaten sama saja. Sehingga berpotensi tumpang tindih, tidak fokus serta sulit untuk mengkur efektifitas dari program yang dilakukan.
Oleh karena itu, sebagai perbaikan kebijakan kedepan, pemerintah perlu melakukan redesign kebijakan penanganan covid-19, meningkatkan keterbukaan informasi dengan menyediakan kanal informasi untuk proaktive publikasi informasi program, kegiatan dan anggaran penanganan covdi-19 baik perencanaan maupun pelaksananaan. Selain itu harus meningkatkan sarana pengaduan warga yang memadai dan memiliki respon cepat terhadap keluhan yang dihadapi masyarakat.
Pentingnya keterbukaan/transparansi data termasuk program dan anggaran juga menjadi konsen DPRD Provinsi Riau. Karmila Sari, Anggota DPRD Riau, sepakat bahwa Pemerintah Provinsi dan 12 Kab/Kota untuk memperbaiki sistem keterbukaan informasi yang sejauh ini sangat minim. Keterbukaan informasi juga memudahkan pengawasan yang dilakukan oleh DPRD dalam menjalan fungsi pengawasan pemerintah.
Permasalahan keterbukaan informasi juga diakui oleh Pemerintah Daerah. Seperti disampaikan oleh perwakilan pemerintah dalam diskusi tersebut, mengakui bahwa pemerintah belum melaksanakan keterbukaan secara baik. Untuk itu, pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan transparansi dalam kebijakan program, kegiatan dan anggaran kedepannya.
Dalam diskusi yang berlangsung 3 jam ini, setidak menghasilkan beberapa catatan penting untuk ditindak lanjuti dalam rangka perbaikan kebijakan dan pelaksanaan penanganan covdi-19 kedepan. Seperti, komitmen pemerintah daerah untuk meningkatkan transparansi anggaran, dengan menyediakan kanal informasi anggaran khusus yang dipublikasi secara proaktif. Selain itu, meningkatkan dan mengefektifkan fasilitas layanan pengaduan warga sebagai sarana untuk memonitoring implementasi kebijakan program dan anggaran.
“Tentu dengan harapan komitmen tersebut dapat diimplementasikan oleh pemerintah daerah di Riau khususnya” Harap Taufik, mengakhiri diskusi tersebut. ***
Penulis : Taupik (Manajer Advokasi)