“Ketika Asap Jadi Bencana Internasional”
Saat ini Indonesia kembali dikejutkan dengan bencana asap yang mulai berdampak pada kehidupan masyarakat lokal, bahkan tersiar kabar asap yang ditimbulkan dari kebaran hutan dan lahan, khususnya dua daerah Riau dan Kalimantan sudah berdampak sampai ke Negara tetangga Malaysia dan Singapura. Kejadian kabut asap tahun 2019 ini seolah-olah mengingatkan kita semua akan trauma masa lalu pada bencana asap tahun 2015 yang begitu dahsyat, dengan kerugian baik materil maupun inmateril yang ditanggung Riau mencapai Rp19 triliun lebih berdasarkan perhitungan word bank.
Bencana asap yang terjadi di Riau dan Kalimantan tahun ini, telah mencoreng nama besar Bangsa Indonesia dimata dunia internasional, bahkan Presiden Joko Widodo merasa maluatas kejadian kabut asap yang sudah sampai ke Malayasia dan Singapura, padahal dalam waktu dekat beliau akan melakukan kunjungan kerja di dua negara tersebut. Pernyataan Presiden tersebut, harus menjadi evaluasi bagi pemerintah daerah, terutama daerah yang terjadi kebakaran hutan dan lahan, khususnya Provisi Riau yang menjadi langganan karhutla setiap tahun.
Kondisi saat ini, di Kota Pekanbaru sudah sepekan terakhir diselimuti kabut asap tipis, namun cukup membuat mata perih dan sesak nafas, bahkan dalam rentang tanggal 29 Juli – 5 Agustus 2019 terdapat sekitar 1.289 pasien terjangkit ISPA yang tercatat di Dinas Kesehatan Pekanbaru, akibat kejadian kebakaran hutan dan lahan yang telah menghanguskan sekitar 4.582,6 hektar yang terjadi di 12 kabupaten/kota (data rilis BPBD Provinsi Riau, 6/8/2019).
Evaluasi tata kelola lingkungan hidup dan sumberdaya alam, menjadi sesuatu yang mendesak untuk dilakukan Pemerintah Daerah, evaluasi pada semua aspek, termasuk komitmen kebijakan harus diimplementasikan sebagaimana amanat peraturan Gubernur Riau No.11 Tahun 2015 tentang rencana akse pencegahan karhutla di Provinsi Riau. Selain itu, evaluasi perizinan perusahaan yang bergerak disektor kehutanan dan perkebunan, apalagi kondisi lahan terbakar didominasi lahan-lahan yang dikuasai perusahaan tersebut.
Disisi lain, perlu ada skema pengelolaan hutan yang diserahkan kemasyarakat baik dalam bentuk reforma agraria (TORA) maupun perhutanan sosial, mengingat kondisi hutan dan lahan terlantar yang tidak dikelola dengan baik dan sering terjadi kebakaran di kawasan tersebut, hingga awal Januari 2019, target capaian perhutanan sosial masih sangat rendah yaitu seluas 82,4 ribu hektar dari yang ditargetkan nasional seluas 1,08 juta hektar, begitu juga terhadap reforma agraria dari yang ditargetkan luas 9 juta hektar, hanya terealisasi sekitar 6.000 hektar di Kabupaten Siak.
Kebijakan lainnya yang penting untuk dievaluasi pemerintah adalah penyediaan anggaran pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang lebih memadai serta kualitas kegiatan yang direncanakan. di Provinsi Riau paling tidak ada tiga dinas utama yang bertanggungjawab mengurusi karhutla diantaranya Badan Penanggulangan Bencana, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Dinas Perkebunan.
Dari tiga dinas tersebut alokasi anggaran untuk pengendalian karhutla dua tahun terakhir sangat minim alokasi, masing-masing tahun 2018 Rp9,8 milyar dan 2019 Rp12,4 milyar, Angka ini jauh lebih rendah dari anggaran tahun 2017 sekitar 29,2 milyar. Dengan demikian, sampai pada kesimpulan bahwa rendahnya komitmen anggaran untuk pengendalian karhutla dalam dua tahun terakhir, menjadi pemicu terjadinya kebakaran pada tahun ini, dikarenakan rendahnya tanggungjawab pemerintah daerah untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Melihat kejadian kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahun, pemerintah daerah harus mengambil langkah-langkah perbaikan kedepan dalam pencegahan kebakaran hutan, salah satunya adalah melakukan kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk kelompok masyarakat sipil yang selama ini konsen melakukan upaya pencegahan karhutla dengan berbagai skema seperti, pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dan akses kelola hutan kemasyarakatan.
Disisi lain, pemerintah Provinsi Riau harus membangun kolaborasi dengan pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengendalian kebakaran, misalnya daerah yang terdapat lahan gambut dan rentan terhadap kebakaran, salah satu kebijakan yang dapat dibangun oleh pemerintah provinsi adalah kebijakan insentif fiskal, dengan demikian bagi daerah yang berhasil menjaga hutan dan lahan dari kebakaran dapat diberikan insentif, kemudian daerah-daerah yang tinggi tingkat kebakaran harus ada mekanisme sanksi, bahkan tidak diberikan insentif dalam bentuk apapun.
Alternatif kebijakan perlu dikembangkan pemerintah daerah dalam mengantisipasi agar kajadian kebakaran hutan, apalagi sampai menimbulkan kegurian yang tidak sedikit. Kondisi udara di Kota Pekanbaru saat ini dinyatakan tidak sehat akibat kebakaran hutan dan lahan maka harus ada langkah cepat agar kejadian kebakaran tidak semakin meluas. Bahkan Provinsi Riau setiap tahun menjadi cacatan sebagai daerah penyumbang asap terbesar.
Penulis;
Tarmidzi (Deputi Koordinator)