Eksploitasi sumber daya alam di Provinsi Riau menjadi salah satu faktor penyebab buruknya kualitas lingkungan hidup, kebencanaan serta permasalahan sosial lainnya. Berbagai studi menunjukkan kebijakan pembangunan dan pengelolaan SDA tanpa disertai dengan tata kelola yang baik berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan. Seyogyanya, pengelolaan SDA merupakan intrumens negara untuk meningkatkan sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat sebagai mana diatur dalam konstitusi.
Situasi tersebut telah disadari pemerintah dan melatarbelakangi lahirnya komitmen pembangunan daerah dengan tetap memperhatikan pelestarian dan perlindungan lingkungan yang disebut Riau Hijau. Kebijakan ini sepenuhnya mengadopsi Siak Hijau yaitu program yang menerapkan kebijakan pelestarian sumber daya alam dengan skala lebih besar yaitu di tingkat Provinsi, terutama terkait dengan Hak Guna Usaha – HGU dan konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI). Namun, kebijakan ini belum didukung dengan komitmen transparansi dan akuntabilitas dalam tata sumber daya alam.
Penerapan kebijakan Riau Hijau diharapkan mengarah pada peninjauan izin bermasalah yang menyebabkan tingginya angka konflik agraria, hilangnya wilayah kelola masyarakat, dan hilangnya sumber daya ekonomi masyarakat. Perluasan izin juga telah merusak ekosistem rawan kawasan lahan gambut. Saat ini 2,4 juta dari 5,04 juta ha lahan gambut di Provinsi ini berada dalam kondisi kritis. Terbukanya kawasan lahan gambut telah mengakibatkan rusaknya ekosistem lahan gambut serta pelepasan karbon lebih banyak ke atmosfer. Untuk itu, perbaikan strategi kolaborasi bersama masyarakat dalam mengimplementasikannya.
Masyarakat dapat berperan dalam berbagai hal, mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi atas kebijakan terkait. Pemantauan oleh masyarakat sipil dan pemerintah daerah hanya dapat dilakukan secara efektif jika informasi Rencana Tata Ruang Wilayah, areal perkebunan kelapa sawit, dan areal HGU sudah tersedia untuk akses publik dalam format data terbuka dalam platform Satu Peta. Pemerintah dan CSO dapat menggunakan data tersebut untuk meninjau aktivitas investor yang telah mendapatkan izin untuk memastikan bahwa mereka mengelola wilayah konsesi mereka secara berkelanjutan dan tidak hanya mengekstraksi kayu atau menggunakan konsesi sebagai jaminan pinjaman bank. Sehingga menjadi keniscayaan pemerintah harus membangun sistem data dan sistem informasi yang tepat dan mudah diakses untuk mendorong partisipasi yang lebih berkualitas.
Untuk berkontribusi dalam mengatasi permasalah serta mempromosikan transparansi dan akuntabilitas yang lebih baik, Fitra Riau berkerjasama dengan perkumpulan Media Link (2020-2021), menjalankan satu mini program Membangun Model Transparansi Tata Kelola Sumber Daya Alam (SDA) di Provinsi Riau. Secara umum, program ini bertujuan untuk melakukan implementasi mekanisme dan instrumen Open Government Partnership (OGP) untuk mengembangkan model transparansi dan akuntabilitas tata kelola sumber daya alam di Provinsi Riau.
Instrumen dan standar OGP yang akan digunakan adalah pemanfaatan inisiatif ini serupa satu peta, satu data, akses informasi lingkungan, standar keterbukaan pada akuisisi lahan skala besar, keterbukaan pada informasi bisnis. Selama ini masih ada hambatan untuk mempromosikan transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola sumber daya alam di Indonesia. Misalnya saat ini Indonesia telah memiliki kebijakan Satu Peta. Tetapi platform Satu Peta yang ada belum sinkron dengan peta-peta tematik yang ada. Rincian informasi tentang kepemilikan lahan dalam proyek Satu Peta tidak lengkap, sehingga tidak dapat ditelusuri kepemilikannya. Dalam industri minyak sawit, baik skema sertifikasi RSPO yang bersifat sukarela berbasis pasar dan skema ISPO yang diwajibkan oleh pemerintah Indonesia tidak menjamin keterbukaan terkait ijin dan HGU.
Hasil yang akan dicapai melalui program ini adalah (1) Adanya Kertas Kerja rencana Transparansi SDA di Riau (2) Adanya sistem dan platform keterbukaan data SDA di Riau terkait satu peta, satu data, SP4N, tentang perijinan perkebunan sawit, industri kehutanan, HGU, klaim perhutanan sosial dan informasi lingkungan, (3) Adanya bestparactice transparansi SDA di Riau untuk diseminasi di tingkat Nasional dan Global.
Untuk mencapai tiga tujuan tersebut, dalam durasi singkat (8 Bulan) beberapa agenda utama yang akan dilakukan adalah, (1) Penyusunan Kertas Kerja MediaLink dan Fitra Riau tentang Transparansi SDA di Riau dengan memanfaatkan rencana pembangunan Riau Hijau disinkronkan dengan program Provinsi Rendah Karbon. (2) Membantu kesiapan pemda Provinsi Riau untuk terlibat dalam kegiatan koordinasi atau rapat, dan pertemuan untuk Penyusunan Model Transparansi SDA di Riau bersama MediaLink, Kementrian Bappenas BIG, Kementrian Dalam Negeri, dan KLHK.
Selain itu, (3) Membantu kesiapan pemda Provinsi dan jejaring masyarakat sipil di Riau dan informasi yang dibutuhkan Asistensi Pemda Riau untuk Implementasi Transparansi SDA di Riau untuk implementasi satu peta, satu data, keterbukaan ijin perkebunan Sawit, industri kehutanan, HGU, dan informasi lingkungan yang terkait dalam platform open data. (4) keterlibatan Diskusi Publik Diseminasi Model Transparansi SDA di Riau.
Pendekatan yang dilakukan adalah dalam bentuk studi baseline dalam rangka mengidentifikasi potensi, peluang penerapan new model transparansi SDA, kolaborasi dalam rangka pendampingan pemerintah dalam mendesign model transparansi. Selain itu, kampanye publik dan promosi ditingkat Nasional terhadap penerapan model yang dihasilkan. ***(Try/Tfk)