Jenis Berkas : Police Brief
No. Arsip :
Judul : Menyelamatkan Anggaran Rakyat
Tahun : 2014
Penulis : Usman & Triono Hadi
Pendahuluan
Inti dari otonomi keuangan daerah adalah bagaimana Pemerintah daerah mempunyai kemampuan managerial secara prima dalam mengumpulkan pendapatan dan kemudian mengalokasikannya untuk belanja pemerintahan yang proporsional. Hal ini dimaksud agar pengelolaan anggaran daerah mampu memberikan efek positif terhadap meningkatnya pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat dan daya saing daerah. Untuk mengembalikan tata kelola yang menyangkut keuangan Negara lahirlah Undang-Undang 17 tahun 2003 yang dikenal sebagai Undang-Undang keuangan Negara.
Setelah hampir satu dasawarsa berlakunya UU ini, tata kelola anggaran negara belum sepenuhnya mampu menjadi instrumen distribusi anggaran yang efektif. Selain persoalan pada tataran kebijakan dan prosedur, pada tataran implementasi juga ditemukan berbagai persoalan. Salah satunya adalah persolan korupsi yang terus mengerogoti keuangan Negara, dari tingkat pusat sampai tingkat daerah.
Salah sati langkah advokasi kebijakan pengelolaan keuangan daerah di Provinsi Riau, dirasa perlu FITRA Riau mengeluarkan Budget Brief. Budget brief ini hadir atas refleksi FITRA Riau dalam melakukan advokasi anggaran selama ini. Oleh karena itu, kehadiran budget brief ini bukan dengan maksud untuk menjawab semua persoalan penganggaran yang terjadi saat ini. Setidak-tidaknya ini bisa menjadi salah satu bahan pemicu dalam rangka menyelamtkan keuangan APBD. Baik sebagai usul perubahan kebijakan maupun instrumen teknis dalam praktek penganggaran.
Berikut ulasan permasalahan anggaran :
Keterbukaan Informasi Anggaran “Setengah Hati”
Dokumen Anggaran Menjadi Rahasia Pejabat
Keterbukaan / transparansi dalam proses prosedur kebijakan publik menjadi sarat mutlak sebagai Negara demokrasi, termasuk didalamnya dalam proses pengelolaan keuangan Negara / daerah. Salah satu dasar yang digunakan dalam pengelolaan keuangan Negara adalah pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang mengatur soal keuangan negara “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan anggaran negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pasal diatas secara garis besar, terdapat tiga prinsop pokok dalam pengelolaan keuangan Negara, yaitu Terbuka (Transparan), bertanggung jawab dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Transparansi anggaran juga telah diatur pada berbagai peraturan perundang-undangan, seperti ; UU No 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, meandatkan implementasi prinsip transparansi dalam pengelolaan anggaran. Pasal 3 ayat 1 menyebutkan “ kekuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Sementara jaminan atas hak informasi public termasuk dokumen anggaran daerah didalamnya sudah diatur dalam Undang- undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dalam pasal 4 UU tersebut dinyatakan setiap warga Negara berhak mengetahui, mendapatkan salinan dan menyebarkan informasi yang berkaitan dengan informasi Publik.
Namun, meski sudah diamanatkan dalam peraturan perundang – undangan semangat keterbukaan informasi anggaran, lagi belum dilakukan secara maksimal. Selama ini, pemerintah dan DPRD mengklaim bahwa dokumen anggaran baik pra maupun pasca adalah dokumen rahasia yang tidak boleh diketahui oleh umum. Meskipun ada publikasi, namun hanyalah kulit-kulit dari anggaran saja yang dipublikasi melalui website-website pemerintah baik di Sekda maupun di Satuan Kerja.
Keterbukaan dokumen anggaran melalui publikasi pada website di biro keuangan provinsi riau hanyalah ringkasan – ringkasannya saja. Sementara dokumen penting yang seharusnya dapat membuka ruang keterlibatan publik, justru masih belum dipublikasikan. Kumpulan RKA (Rencana Kerja Anggaran) yang merupakan bahan dari penjabaran rincian APBD dan DIPA, sebagai bahan yang diajukan oleh eksekutif dan dibahas oleh DPR, justru tidak dapat diakses publik. Padahal dengan dipublikasikannya dokumen ini, publik bisa turut mengkritisi dan memberikan masukan untuk rancangan anggaran sebelum menjadi UU. Kebanyakan data anggaran yang dipublikasikan pemerintah juga dalam bentuk format yang tidak bisa diolah/ analisis, seperti dalam bentuk PDF, sehingga menyulitkan peneliti, maupun masyarakat yang akan melakukan riset atau memberikan masukan.
- Pemerintah dan DPRD wajib membuka seluruh dokumen – dokumen yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah. Mulai RAPBD – APBD – sampai Pertanggungjawaban kelapa daerah yang menyangkut terntang tertanggung jawaban penggunan keuangan. Menurut Open Budget Index (OBI) yang dirilis oleh International Budget Partnership (IBP), terdapat 8 dokumen kunci anggaran yang harus tersedia bagi publik, seperti digambarkan dalam Tabel 12. Selain itu, perlunya peran serta masyarakat dalam proses penyusunan anggaran di Pemerintah dan DPR, serta audit yang dilakukan BPK.
- Pemerintah dan DPRD wajib mempublikasikan dokumen RKA Satuan Kerja Perangkat DInas (SKPD). DPRd juga perlu melakukan dengar pendapat dengan kelompok-kelompok masyarakat untuk turut memberikan masukan terhadap rancangan anggaran. Selain itu, seluruh data anggaran mulai dari RKA sampai dengan Laporan Realisasi Anggaran, seharusnya juga dalam bentuk format yang terbuka, dalam bentuk data row atau data sheet, sehingga bisa dipergunakan kembali atau dianalisis, baik oleh peneliti perguruan tinggi maupun masyarakat sipil yang akan memberikan masukan. Dengan demikian, fungsi anggaran DPR menjadi lebih optimal dan memperkuat posisi tawar DPRD terhadap Pemerintah, termasuk membangun legitimasi publik.
- Dengan dipublikasikannya RKA dan seluruh isi Perda APBD mulai RAPBD sampai menjadi APBD bersamaan dengan penyerahan dokumen ini oleh Pemerintah ke DPRD, terjadinya praktik pemborosan anggaran ataupun upaya merencanakan anggaran agar bisa dikorupsi, dapat dicegah sejak di hulu.
Pengelolaan Keuangan Daerah “Tidak Amanah”
Skala Prioritas Terabaikan
Sebagai salam satu intrumen pembangunan daerah baik fisik maupun non fisik, pemerintah daerah meski mengelola keuangan daerah secara amanah sesuai kontitusi. Pelayanan dasar public, akses public untuk mendapatkan pelayanan dasar yang maksimal tentu menjadi prioritas utama dalam membuat kebijakan. Semangat pengentasan kebodohan dan kemiskinan menjadi tolak ukur Negara, sehingga dalam rencana pembangunan skala prioritas utama adalah bagaimana menjamin hak – hak dasar pelayanan public (kesehatan, pendidikan, infrastruktur) menjadi poin utama. Namun, lagi – lagi kebijakan tersebut tidak didukung dengan anggaran yang maskimal sesuai konstitusi, sebaliknya anggaran hura – hura, program spektakuler yang menghabiskan anggaran triliunan didahulukan.
Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2013, Provinsi Riau hasil analisi FITRA Riau terkait alokasi anggaran ditemukan bertentangan dengan peraturan perundangan-perundangan yang lebih tinggi. Seperti anggaran pendidikan yang tidak mencukupi 20% dari total APBD, padahal dalam pasal 49 ayat 1 bahwa anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN/APBD. Sementara APBD Provinsi hanya menyalurkan anggaran pendidikan Rp. Rp 1,309,248,309,200 atau 15% dari total APBD sebesar Rp. 8,432,096,315,490. Anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk pendidikan sebesar Rp. 1,686,419,263,098.00.
Dari total anggaran pendidikan yang digelontorkan tersebut masih termasuk belanja gaji dan operasional pendidikan kedinasan. Jika dihitung kembali secara rinci maka alokasi anggaran yang diperuntukkan untuk pendidikan diluar gaji pendidik dan pendidikan kedinasan hanya 12% dari total APBD. Dengan demikian maka anggaran pendidikan masih jauh dibawah angka sesungguhnya dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang pendidikan yang mengamanatkan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN/APBD diluar gaji dan pendidikan kedinasan.
Selanjutnya, anggaran kesehatan sesuai dengan pasal 171 UU nomor 36 tahun 2009 mengamanatkan bahwa anggaran kesehatan minimal 10 % dari APBN/APBD diluar gaji. Sementara pemerintah provinsi Riau menganggarkan hanya 6% dari total APBD Rp. 8,432,096,315,490. Jika dihitung kembali dikeluarkan biaya gaji maka belanj fungsi kesehatan hanya 4% daro total APBD.
Begitu halnya dengan program pengentasan kemiskinan yang bersifat subsidi kemasyarakat. Sepanjang priode 2008-2013 pemerintah hanya mengalokasikan 6% dari akumulasi APBD sepanjang tahun 2008-2013. Seperti program bantuan alat-alat industry rumah tangga, program K2I, dan program yang bersifat bantuan keuangan dalam bentuk kredit rakyat. Sebaliknya pemerintah boros dalam mengalokasikan anggaran yang seyognyanya tidak menjadi prioritas pemerintah seperti kegiatan spektakuler, pembangunan yang belum perlu dibangun, serta boros pada belanja aparatur pemerintah.
Melihat kondisi yyang ada di sector pendidikan dan kesehatan, Provinsi Riau masih dalam kondisi memprihatinkan. Pendidikan yang belum berkualitas, dengan fasilitas yang masih jauh dari layak serta kondisi pelayyanan kesehatan masyarakat yang belum maksima. Tidak meratanya fasilitas kesehatan sampai ke desa – desa, serta masih minimnya fasilitas kesehatan di tingkat kescamatan.
Rekomendasi :
- Pemerintah dan DPRD dalam penerbitan Perda APBD wajib mematuhi peraturan peundang-undangan diatasnya. Dengan mengedapankan aspek hokum dan program skal prioritas. Pemerintah dan DPRD wajib memenuhi anggaran pendidikan 20% dari APBD, yang digunakan untuk membantu memperbaiki fasilitas pendidikan. Anggaran kesehatan harus dipenuhi 10% dari total APBD sesuai amanat perundang-perundangan, untuk perbaikan fasilitas dan pelayanan kesehatan di Provinsi Riau. Sebaliknya, pemerintah dan DPRD harus mengedepan azaz efisiensi dan efektif khusunya dalam belanja aparatur serta program yang belum seharusnya menjadi prioritas utama dalam pembangunan daerah.
- Untuk memaksimalkan anggaran dasar public sector pendidikan pemerintah daerah seyognya mengikuti Pasal 20 ayat 1 Undang-Undang nomor 22 tahun 2012 tentang minyak dan gas bumi. Yang menyatakan bahwa Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf e angka 2 dan huruf f angka 2 sebesar 0,5% (setengah persen) dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar. Pembagian ini dibagikan sebelum dikumpulkan dengan penerimaan daerah lainnya dalam APBD.
SILPA Terus Melambung : Pagu Anggaran Dibikin Kembung
Dengan kekayaan Sumber Daya Alamanya yang dijadikan sebagai sumber pendapatan daerah dengan didorong semangat pemerintah untuk mengali sumber pendapatan lainnya, APBD Provinsi Riau terus mengalami peningkatan. Tercatat sejak tahun 2010 hingga 2013 APBD Riau terus mengalami peningkatan yang cenderung siginifikan. Tahun 2010 pendapatan Riau 3,2 Triliun, sampai pada tahun 2013 pada target penerimaan daerah sebesar Rp. 6,6 Triliun.
Namun, pendapatan daerah yang tinggi tak didorong dengan kemampuan kinerja penyerapan anggaran yang maksimal dan berkualitas. Hampir stiap tahun terjadi pada semester awal anggaran penyerapan APBD baru mencapai 20% dari total keseluruhan APBD. Bahkan tahun 2013 ini, dibacakan dalam laporan LKPj Gubenur bahwa sampai akhir Juni tahun 2013 penyerapan APBD baru mencapai 16 %. Selain dipengaruhi oleh factor ekternal, factor initernal (kinerja aparatur) juga mempengaruhi potensi penyerapan APBD dalam proses pembangunan. Tentu, dengan lambannyapenyerapan anggaran maka akan menghambat proses pembangunan baik fisik maupun non fisik.
Menjadi trasdisi pemerintah penyerapan anggaran selalu digesa pada akhir tahun anggaran untuk mencapai target realisasi. Hal itu jelas, penyerapan anggaran / penggunaan anggaran yang dilakukan diakhir tahun hanya mengdepankan “yang penting target tercapai”. Sehingga banyak program- program yang dilaksanakan tentu tidak berkualitas dan terukur hasilnya. Melainkan hanya mengambur-hamburkan uang Negara dengan pedoman yang penting sesuai target. Kinerja aparatue yang tidak becus dalam mengelola anggaran ini bias dilihat dari bagaimana proses penyusunan itu dilakukan. Yang seharusnya priode anggaran sudah mulai pada 1 januari pada tahun yang bersangkutan molor, dan baru bisa dilaksanakan pada februari bahkan April pada tahun bersangkutan.
Belanja dalam APBD Provinsi Riau terus meningkat setiap tahunnya. Namun peningkatan belanja tersebut dibarengi dengan peningkatan SILPA (Sisa Lebih penggunaan Anggaran) tahun bersangkutan. Tercatat dimulai pada tahun 2010 dengan Belanja lebih dari Rp. 4,2 triliun Silpa akhir tahun mencapai Rp. 400 Miliyar. Selanjutnya pada tahun 2011 dengan APBD lebih dari Rp. 5,2 Triliun SILPA akhir tahun mencapai Rp. 1.3 Tiliun. Meningkat kembali pada tahun 2012 dengan anggaran Rp. 8,3 Triliun, realisasi SILPA pada tahun berjalan mencapai 1,9 Triliun.
Besaran SILPA yang terjadi setiap tahunnya, selain factor kinerja aparatur yang tidak mampu menyerapa secara maksimal anggaran yang dialokasian juga disebabkan karena buruknya perencanaan anggaran. Dalam Rencana Kerja Anggaran (RKA) yang diajukan dengan PAGU anggaran yang jauh lebih besar dengan anggaran yang semestinya dibutuhkan disetiap program. Sehingga mengakibatkan pengembalian anggaran dari sisa program yang dilaksanakan cenderung tinggi dan akhirnya kembali ke kas daerah untuk dipergunakan pada tahun berikutnya.
Dapat dilihat pada Laporan Pertanggung Jawaban dan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), pada belanja langsung yang diperuntukkan untuk program kegiatan rata-rata realisasi anggaran berkisar antara 75-80% dari pagu anggaran yang disetujuan dalam Perda APBD. Realisasi anggaran 75% tersebut juga paling banyak ditemui pada anggaran untuk operasional aparatur (keperluan Administrasi perkantoran, operasioanal aparatur, dan lain-lain). Seperti contoh di dinas Pendidikan anggaran belanja langsung sebesar Rp. 379.9 miliyar hanya terealisasi sebesar Rp. 275.0 Miliyar. Artinya hanya 72% anggaran yang di laksanakan meskipun semua program kegiatan terlaksana. Secara lebih rinci lagi misalnya pada anggaran dibeberapa dinas menggarkan item anggaran dengan pagu yang jauh dari anggaran sebenarnya.
Selain menimbulkan, dampak SILPA yang besar, pagu yang anggaran yang cenderung dianggaran besar (mark Up) juga akan berdampak pada besarnya ruang KORUPSI di satuan kerja terkait. Karena dengan pagu anggaran yang tinggi akan sangat mudah terjadinya kong kalikong antara pihak ketiga (pelaksana proyek) dengan pejabat yang berada di instansi tertentu. Dengan demikian maka harus diolakukan reformasi anggaran khsusnya dalam proses pengajuan RKA yang akan disashkan dalam Perda APBD oleh DPRD. Ketika hal it uterus terjadi dan tidak dilakukan perubahan yang mendasar maka SILPA APBD dan korupsi APBD tidak akan pernah hilang.
Rekomendasi :
- Pemerintah dan DPRD harus berkomitmen untuk melakukan peningkatan Kinerja aparatur pemerintah dalam proses pelaksanaan kegiatan anggaran. Dengan tidak mengulur – mengulur waktu proses pembahasan dan pengesahan anggaran (Perda APBD). Sehingga pelaksanaan anggaran mampu diserap secara maksimal dan dengan hasil yang berkualitas. Sehingga penyerapan anggaran yang diperuntukkan untuk rakyat jelas tersalurkan dengan baik dan mengurangi SILPA di tahun berikutnya. Selanjutnya pemerintah dan DPRD juga berkomitmen memberantas korupsi APBD, dengan mempersempit ruang – ruang yang berpotensi korupsi. Salah satunya dengan cara memangkas anggaran program yang diajukan dalam RKA SKPD minimal 20% dari pagu anggaran. Kemudian dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan yang lebih bermanfaat dan untuk sebesarnya kemakuran rakyat.
- Untuk mempercepat penyerapan anggaran, Pemerintah membentuk Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran dan mulai mempublikasikan realisasi anggaran pada setiap 3 bulanan. Namun demikian, upaya ini tidak bersifat sementara, untuk selanjutnya Pemerintah harus mempublikasikanseluruh serapan anggaran SKPD tiga bulan sekali,sehinggadari awalsudah dapat didentifikasi SKPD yang lamban penyerapannya dan menemukan bottleneck persoalan. Jika sampaidengan berakhirnya semester pertama, penyerapan tidak mencapai 50 persen, maka perlu diberipunishment dengan memotong anggaran berdasarkan kemampuan penyerapan pada enam bulan sebelumnya.
Formalitas Musrembang : Nihil Uji Publik
Semangat pemerintah untuk mewujdukan anggaran yang partipatif dalam proses penyusunan anggaran ditandai dengan lahrinya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 8 tahun 2008 yang mengatur tentang Musyarah Rencana Pembangunan (Musrembang). Namun pelaksanaan Musrembang belum menjawab persoalan kebijakan keuangan daerah yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hal itu dibuktikan dengan seudah berjalannya 5 tahun proses penyusunan anggaran yang dilakukan dengan mekanisme Musrembang, masih terjadi kebijakan – kebijakan keuangan daerah yang masih jauh dari keinginan rakyat, serta masih terjadi pemasalahan – permasalah yang fatal seperti Korupsi.
Hal itu, terjadi karena Musrembang hanyalah formalitas, untuk memenuhi syarat sesuai peraturan perundang-undangan. Sementara substansi partsipasi publik dalam proses perencanaan anggaran tidak secara sungguh dilaksanakan. Ruap public dalam perencanaan anggaran hanya sebatas pengusulan program yang dimulai ditingkat pedesaan. Sehingga menimbulkan keluhan publik kalau usulan kegiatan tidak diakomodir dalam APBD.
Proses partisipasi publik dalam penyusunan anggaran berhenti sampai pelaksanaan Musrembang di tingkat Desa dan kelurahan. Sementara untuk proses selanjutnya akses public untuk mengikuti proses penganggaran sampai ditingkat DPRD ditutup. Publik juga hanya dilibatkan dalam pengusulan program – program kegiatan, sementara proses penentuan pagu anggaran yang dibuat oleh SKPD public tidak lagi dilibatkan. sementara proses desiminasa atau uji publik tidak pernah dilakukan oleh pemerintah daerah dan DPRD dalam setiap tahapan penyusunan anggaran sampai laporan pertanggungjwaban.
Rekomendasi
- Pemerintah dan DPRD berkomitmen untuk menjamin keterbukaan informasi public dalam proses pengelolaan keuangan daerah. Mulai perencanaan anggaran sampai laporan akhir LKPJ pemerintah daerah. Bahkan pemerintah harus membuka hasil audit BPK pasca proses audit di publik.
- Untuk memastikan anggaran yang disusun setiap tahun memiliki semangat konstitusional. Untuk itu, pemerintah dan DPRD harusmemberikan ruang bagi publik melakukan uji publik terhadap PERDA APBD sebelum diberlakukan. Mangigat Perda APBD bersifat terbatas berlaku selama setahun, maka Mahkamah Konstitusi juga perlu membuat batasan waktu bagi warga negara yang mengajukan uji materi terhadap Perda APBD, sebelum tahun anggaran berjalan, sehingga memudahkan bagi Pemerintah apabila MA mengabulkan dan meminta adanya perubahan pada Perda APBD.
Dana Hibah dan Bansos Rawan Korupsi
Hibah adalah pemberian bantuan uang/barang atau jasa dari Pemerintah Daerah kepada pemerintah atau Pemerintah Daerah lainnya, Perusahaan Daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus yang bertujuan untuk menunjang penyelenggaraan urusan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan asas keadilan, kepatuhan, rasionalitas dan manfaat untuk masyarakat.
Sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Dalam Negeri No 39 tahun 2012 Perubahan atas Peraturan Menteri dalam negeri nomor 32 tahun 2011 tentang pendoman pemberian hibah dan bantuan sosial yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) pasal 1 angka 14Mengatakan bahwa “Hibah adalah pemberian uang/barang atau jasa dari pemerintah daerah kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus yang bertujuan untuk menunjang penyelenggaraan urusan pemerintah daerah.”.
Untuk menunjang penyelenggaran urusan pemerintah daerah, pemerintah provinsi Riau terus menganggarkan belanja Hibah dan bantuan sosial dalam APBD setiap tahunnya. Seperti tahuna 2013 APBD provinsi Riau mengagarkan belanja Hibah sebesar Rp.1.406.765.603.000, jika dipersentasekan dengan total anggaran belanja daerah sebesar 17,5%. Anggaran hibah tersebut terdiri dari bantuan hibah kepada pemerintah, Hibah kepada kelompok profesi, hibah kepada kelompok kemasyarakatan, serta hibah untuk anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Sekolah dasar dan menengah.
Namun, program bantuan hibah sebagai penunjang penyelenggaraan urusan pemerintah daerah, seringkali dijadikan bancaan para pihak yang tidak bertanggungjawab untuk mengambil uang rakyat (APBD). Dana hibah dan bantuan sosial dianggarkan kepada lembaga yang tidak jelas dan dengan ukuran kinerja yang tidak jelas pula. Tiga tahun terakhir provinsi Riau menganggarkan belanja hibah terus meningkat mulai dari Rp. 225.000.000.000 sampai pada tahun 2013 mencapai Rp. 1,4 triliun. Faktanya, sampai saat ini tidak jelas bagai evaluasi pemerintah terkait pelaksnaaan anggaran hibah yang disalurkan tersebut.
Permasalahan anggaran bantuan Hibah dan Bantuan Sosial juga terus menjadi temuan di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Modusnya setiap tahun sama yaitu organisasi fiktif, tidak adanya pertanggungjawaban dari penerima hibah serta modus lain-lain yang terus berulang setiap tahunnya. Meskipun demikian faktanya pemerintah daerah juga tidak pernah melakukan evaluasi secara berkala akan hasil yang dicapai melalui anggaran hibah yang digelontorkan tersebut.
Pada tahun 2011, potensi kerugian Negara hasil temuan BPK berasal dari anggaran hibah dan bantuan sosial di Provinsi Riau ditemukan libih dari Rp. 12,6 Miliyar. Tahun 2012 anggaran hibah dan bantuan sosial juga ditemukan potensi kerugian Negara mencapai Rp. 9,2 Miliyar. Belum lagi terkait anggaran yang hanya dijadikan bancaan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab atas dasar kongkalikong dengan pejabat atau anggota DPRD yang tidak ditemukan bukti-bukti. Namun secara umum jelas hal itu terjadi.
Selanjutnya, pengalokasian anggaran Hibah dan Bantuan sosial dilaksanakan secara tidak tertib sesuai peraturan perundang-undangan. Seperti tahun 2013 dalam lampiran III Peraturan Kepala Daerah dalam Peraturan Gubenur Riau nomor 1 tahun 2013 tentang penjabaran penerima Hibah bertentangan dengan Pasal 11A Permendagri Nomor 39 tahun 2012 perubahan Permendagri nomor 32 tahun 2011. Karena dalam penjabaran tidak semua “Biodata” penerima hibah tidak di tulis lengkap dengan alamat penerima hibahnya.
Mencermati, penerima hibah serta anggaran yang dialokasikan dalam Perda nomor 1 tahun 2013 dijabarkan pada Peraturan Gubenur Riau nomor 1 tahun 2013 tentang penjabaran bantuan hibah, terdapat beberapa alokasi anggaran yang dinilai tidak wajar dan melanggar atas keadilan, kepatutan, rasionalitas. Seperti anggaran untuk beberapa yayasan sosial dianggarkan lebih dari 1.000.000.000,- yang dilakukan secara terus menerus setiap tahunnya, dengan maskud tujuan (program kegiatan) yang tidak pernah disampaikan secara terbuka kepada public.
Selain bantuan yang tidak mengikat, tidak terus menerus, rasionalitas, bermanfaat kepada masyarakat banyak, dalam Permendagri nomor 32 tahun 2011 pasal 4 angka (2), menjelaskan bahwa “Pemberian hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memprioritaskan pemenuhan belanja urusan wajib”.
Bantuan hibah yang dianggarkan dalam APBD Riau tahun 2013 diluar anggaran Bantuan OperasionalSekolah (BOS) tahun 2013, sebesar Rp. 851,954,503,000,-. Atau setara dengan 10% APBD Riau 2013, berakibat pada tidak terpenuhinya urusan wajib yang menjadiskalaprioritas pemerintah daerah dalam menyusun anggaran.Seperti anggaran sektor pendidikan yang berasal dari APBD, yang secara khusus diatur dalam pasal 49 ayat (1) Undang-Undang 20 tahun 2003 seharusya 20% dari APBD. Kemudian anggaran kesehatan yang juga secara khusus diatur dalam Undang-undang nomor 36 tahun 2009 pasal 171 ayat (2) sebesar 10% dari APBD.
Rekomendasi :
- Untuk menyelamatkan anggaran APBD provinsi Riau dari praktek korupsi khususnya pada sector hibah dan bantuan sosial, pemerintah daerah dan DPRD Riau harus menertibkan kembali pengalokasian anggaran bantuan sosial dan bantuan hibah. Baik kepada organisasi masyarakat atau kepada lembaga yang berhak menerima bantuan dana Negara tersebut. Salah satu langkah yang harus ditempuh adalah dengan menerbitkan peraturan gubenur yang spesifik mengatur tata cara pengalokasian bantuan sosial dan bantuan hibah.
- Pemerintah daerah dan DPRD Riau seyognya memangkas anggaran hibah dan bantuan sosial yang terkesan mengambur-hamburkan uang APBD untuk keperluan yang tidak jelas, dengan hasil yang teidak terukur serta rawan korupsi. Selektif dalam memberikan bantuan kepada lembaga / organisasi dan mempunyai target yang terukur sesuai dengan besaran anggaran yang digelontorkan. Kembalikan anggaran yang berpueluang besar dikorupsi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat baik menutupi anggaran yang belum mencukupi sesuai peraturan perundang-undang atau dijadikan sebagai anggaran subsidi untuk masyarakat luar.
Belanja Aparatur Penyandra APBD
Selain persoalan lain, seperti korupsi, anggaran sepektakuler dan anggaran hibah dan bantuan sosial yang tidak dikelola dengan baik dan terkesan menyandra APBD, juga APBD tersandra dengan belanja yang digunakan untuk keperluan aparatur. APBD Provinsi Riau terus menganggarkan 15% APBD untuk kebutuhan gaji aparatur yang diposkan pada belanja pegawai pada belanja langsung. Angka tesebut terus meningkat seoanjang tahun 2008-2013 dengan rata peningkatan belanja pegawai sebesar 20% pertahunnya. Selain itu, belanja pegawai juga tidak hanya berada pada belanja tidak langsung. Dalam belanja langsung yang bersifat program juga terdapat belanja pegawai dengan rata pertahun untuk belanja pegawai yang berada pada belanja langsung sebesar 6% dari total APBD. Artinya secara keseluruhan belanja pegawai (Gaji dan Tunjangan) dalam APBD Riau setiap tahunnya (2010-2013) sebesar 21% dari total belanja daerah. (lihat dokumen APBD Riau tahun 2013).
Selain belanja aparatur (Gaji) yang cenderung tinggi dan tidak representative dengan jumlah penduduk yang harus dilayani. Belanja keperluan apatur dalam bentuk operasional dalam belanja langsung juga menyandera APBD. Misalnya, tahun 2013 anggaran untuk belanja perjalanan dinas dialokasi sebesar Rp. 330 Miliyar, Atau sebesar 4 % dari total APBD sebesar Rp. 8,3 Triliun (lihat dokumen APBD Riau tahun 2013). Selanjutnya anggaran operasional lainya seperti (mobil dinas, administrasi kantor, rapat koordinasi, laporan keuangan, peningkatan kapasitas aparatur, disiplin aparatur, pakaian dinas, dan program yang berkaitan dengan aparatur lainnya), juga menjadi beban keuangan daerah yang tidak didukung dengan terus meningkatnya kinerja aparatur.
Hal yang lebih miris lagi melihat anggaran dalam APBD Riau selama ini, bahwa terdapat puluhan badan dinas yang ada di pemerintahan provinsi Riau yang dibiayai dengan APBD, 70-80% hanya diperuntukkan untuk keperluan aparatur, (lihat dokumen APBD Riau tahun 2013).. Sebaliknya 30-20% anggaran baru dialokasikan untuk belanja program yang berkaitan dengan public. Itu pun dalam bentuk rapat koordinasi, makan minum dan lain sebagainya.
Rekomendasi:
- Dalam pengelolaan keuangan daerah sesuai dengan peraturan perundang – undangan maka, aza efektifitas dan efisiensi menjadi dasar dalam kebijakan keuangan. Pemberian operasioanal aparatur dilakukan dengan tidak boros, efisien dan efektif, dengan mempertimbangkan kegunaan dan manfaat yang diberikan. Anggaran perjalanan dinas yang kerap menjadi temuan BPK (perjalanan fiktif) seyognya memberikan sinyalir kepada pemerintah untuk memangkas anggaran perjalanan dinas dengan menggunakan system add cost, (anggaran tambahan) jika terjadi perjalanan yang dilengkapi dengan bukti-bukti perjalanan sesuai dengan ketentuan.
Minim Anggaran Lingkungan
Sebagai daerah yang tingkat ekploitasi sumberdaya alam cukup tinggi dan pergeseran iklim akibat kerusakan lingkungan yang tinggi pula, Provinsi Riau dengan bekerjasama dengan pemerintah dibawahnya (kabupaten kota) juga menyepakati perbaikan dan pelestarian lingkungan sebagai prioritas pembangunan. Tak tanggung-tanggung, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) 2009-2013 di Priode Rusli Zainal sebagai kepala daerah menjadikan isu lingkungan kedalam misi dan tujuan pembangunan daerah. Dalam Misi dan tujuan pembangunan daerah dicantumkan “Meningkatkan kualitas lingkungan dan perlindungan lingkungan dengan memperbaiki, memperbaharui,m mempertahankan dan melestarikan lingkungan hidup di provinsi Riau”.
APBD Provinsi Riau yang sebagian besar bersumber dari pemanfatan sumber daya alam, yang dijadikan resourcepembangunan daerah, justur tidak memihak kepada pelestarian lingkungan sebagaimana disebutkan dalam rencana strategis pembangunan. Hal itu dilihat dari alokasi anggaran perbaikan dan pelestarian lingkungan dalam APBD sangat kecil, tercatat selama kurun waktu 2009-2013 Pemerintah provinsi Riau hanya mengalokasikan 1,03% dari total APBD. Bahkan semakin meningkatnya penerimaan daerah sebagai acuan belanja daerahnya, justru secara persentase alokasi anggaran untuk perbaikan dan pelestarian lingkungan semakin pengecil. Tahun 2009 alokasi angaran lingkungan di dua SKPD (Dinas Kehuatanan dan Badan Lingkungan Hidup), dengan APBD Rp. 4,2 Triliun dialokasi sebesar 1.17%. tahun 2012 dengan APBD sebesar Rp. 8,3 Triliun justu anggaran lingkungan secara persentase mengecil menjadi 0,85% saja.
Anggaran lingkungan bisa dilihat di dua SKPD yaitu pada Dinas Kehutanan dan Badan Lingkungan Hidup. Tabel diatas menunjukkan anggaran APBD yang dialokasikan untuk perbaikan dan pelestarian hutan dan lingkungan selama 2009-2013. Secara umum anggaran yang dialokasin untuk Dinas kehutanan selama 2009-2013 Rp. 212,7 Milyar atau seara dengan 0,71% dari total APBD, dengan realisasi tahun 2009-2012 sebesar Rp. 135,9 Miliyar atau setara dengan 0,74% dari total realisasi anggaran tahun yang sama. Pada Badan lingkungan Hidup tahun 2009-2013 dianggarkan sebesar Rp. 92,1 Miliyar atau setara dengan 0,31% dari total APBD tahun yang sama. Sedangkan realisasi sebesar Rp. 55,3 Miliyar atau setara dengan 0,30% dari total realiasi APBD tahun 2009-2012.
Anggaran yang dialokasikan ke dua sektor lembaga ini (Dishut dan BLH), yang hanya 1,01% sepanjang tahun 2009-2013, ternyata tidak murni untuk keperluan program yang langsung di berikan kepada lingkungan (hutan, sungai, dan lain-lain). Sebagian besar alokasi anggaran yang diperuntukkan di dua lembaga ini untuk Gaji dan keperluan rutin kedinasan (Aparatur). Untuk Dinas kehutanan sepanjang tahun 2009-2013 dialokasikan anggaran sebesar Rp. 212, 7 Miliyar, ternyata 77,2% diperuntukkan untuk Gaji dan keperluan kedinasa. Begitu juga di BLH ditahun yang sama 60,2% alokasi anggaran diperuntukkan untuk gaji dan keperluan kedinasan.
Jika diakumulasikan (BLH+Dishut) alokasi anggaran selama kurun waktu 2009-2013 sebesar Rp. 304,9 Milyar 73,3% untuk keperluan Gaji Aparatur dan keperluan kedinasan (pakaian dinas, perjalanan dinas, mobil dinas, atk, listrik dll). Sebaliknya anggaran yang dialokasikan untuk keperluan program lingkungan di dua sektor tersebut hanya sebesar Rp. 27,7% dari total anggaran yang kedua SKPD tersebut. Jika dirincikan kembali maka alokasi anggaran yang diperuntukkan secara rill untuk kebutuhan perbaikan dan pelestarian lingkungan di dua SKPD tersebut (Pendidikan masyarakat, koorinasi, kebakaran hutan, sanitasi, dan upaya preventif hutan dan lingkungan), maka Priode kedua Rusli Zainal 2009-2013 hanya dilokasikan sebesar 0,29 % dati total APBD realisasi tahun 2000-2012.
Rekomendasi:
- Kasus – kasus kerusakan lingkungan tentu menjadi perhatian serius oleh pemerintah daerah sesuai dengan VISI daerah yang ada dalam RPJMD. Tentu didukung dengan anggaran yang maksimal dan mempunyai program – program yang jelas dan terukur hasilnya. Dalam kasus kebakaran hutan yang terus tejadi sepanjang tahun, pemerintah harus memberikan dorongan anggaran program sebagai antisipasi kebakaran hutan, dengan cara menambah program strategis pencegahan kebakaran hutan, dengan cara optimalisasi pengawasan dan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Tidak hanya dalam bentuk korrdinasi-koordinasi yang tidak jelas hasilnya. Mengalokasikan anggaran untuk membentuk sumber alternative penjegahan kebarakan hutan dan lahan serta memberikan subsidi kepada masyarakat yang diberikan izin mengelola lahan dengan tidak menggunakan cara membakar lahan.