Inti dari penganggaran daerah di era otonomi saat ini adalah, bagaimana Pemerintah daerah mempunyai kemampuan managerial yang prima dalam mengumpulkan pendapatan dan kemudian mengalokasikannya untuk belanja pemerintahan yang proporsional. Hal ini dimaksud agar pengelolaan anggaran daerah mampu memberikan efek positif terhadap meningkatnya pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat dan daya saing daerah.
Untuk itu diperlukan kebijakan pendapatan daerah yang tidak memberatkan masyarakat dan para pelaku usaha serta penerapan strategi belanja daerah melalui pendekatan belanja yang tidak boros (utamanya pada belanja aparatur) dan tidak pelit (utamanya belanja pada sektor strategis pengungkit pertumbuhan ekonomi dan indikator kesejahteraan masyarakat).
Hasil anaslisis FITRA Riau, menunjukkan masih banyaknya terjadi pemborosan anggaran – anggaran yang tidak perlu. Usman menyebutkan, bahwa terdapat 6 daerah Kabupaten / kota Se-Riau yang lebih dari 40% APBD untuk Belanja Aparatur. daerah tersebut adalah, adalah Inhu (46,6 persen), Kampar (55,3 persen), Kuansing (47,2 persen), Rohul (42,5 persen), Dumai (53,9 persen), dan Pekanbaru (59,4persen).
Kondisi demikian menunjukkan bahwa kapasitas aparatur daerah itu, tidak sebanding dengan keuangan daerahnya sendiri. Sehingga APBD yang seyognya untuk belanja publik terkuras atau terpaksa di kurangi untuk memberikan gaji dan tunjanganaparatur.
Besarnya, belanja untuk pemenuhan kebutuhan aparatur tidak sebanding dengan besarnya PAD yang ada disetiap daerah. PAD daerah cenderung sedikit, bahkan di enam Kabupaten/kota tersebut (data FITRA RIAU), kekuatan PAD membiayai belanja daerah dibawah 5%.
Selain itu, data FITRA menunjukkan, penyandra APBD Provinsi Riau tahun 2012 selain belanja apatur, juga tersandra dengan belanja seremonial. Mungkin semua sudah mengetahui betapa hebatnya Riau ditahun 2012 ini, pesta tiga iven olah raga sekala nasional berturut-turt diadakan di Riau. hal itu sudah barang tentu akan menyerap anggaran APBD yang tidak sedikit. Laju pembangunan ditahun 2012 ini memang betul, namun pembangunan seperti apa?. Yang ada hasil bangunan-bangunan gedung olahraga dengan nilai triliunan rupiah itu sia-sia, dan membebani anggaran dengan anggaran pembiayaan setiaptahunnya.
Benar juga prediksi FITRA Riau, jika kebijakan anggaran yang tidak tepat, pembangunan yang mengarah kepada bagaimana meningkatkan popularias penguasa, dengan tidak mempertimbangkan efek. Serta pemborosan anggaran untuk pemenuhan Syahwat Aparatur maka, akan kebangkrutan daerah kemungkinan besar terjadi.
Posisi pemerintah tidak ubah selayaknya panitia yang bertugas mengelola keuangan daerah yang berasal dari rakyat. Maka dari itu pemerintah dituntut bijaksana dalam menyelenggarakan negara yang notaben-nya adalah uang yang berasal dari pajak rakyat.
Yaitu dengan pencermatan atau pengkajian terhadap program dan penggunaan sumberdaya keuangan memungkinkan setiap penyelenggara pemerintahan benar-benar bekerja sesuai target kinerja yang dicanangkan, efisien, azaz manfaat menjadi tolok ukur, serta skala prioritas tetap menjadi acuan utama dalam mengatur kebijakan keuangan daerah.
Bukan sebaliknya politisasi kebijakan keuangan yang didahulukan sehingga berdampak pada ketidak adilan dan ketidak meratanya pembangunan disegala bidang. bahkan yang lebih parah lagi, ketika kepanitiaan (pemerintah) sebagai pengelola keuangan daerah justru terus subur dan tidak sesuai dengan besarnya alokasi anggaran yang mendongkrak peningkatan kesejahteraan masyarakat dari perbaikan ekonomi.
DPRD sebagai lembaga pengawas, juga musti berani, karena ditanganmu rakyat menitipkan aspirasi. Fungsi pengawasan, legitimasi juga harus digalakkan, sehingga arah kebijakan pemerintah daerah benar-benar untuk kesejahteraan rakyat. Bukan justru sebaliknya DPRD ikut bermain, seperti kasus Suap Perda 6 tahun 2010 lalu. Kesalahan DPRD akan berimbas pada penderitaan rakyat yang berkepanjangan.
Oleh : Triono Hadi